Wahai Saudaraku ....Kemana lagi engkau akan kembali selain kepada Alloh Swt

Wahai para pencari ketenangan sesungguhnya ketenangan sejati ketika engkau bisa mengenal Alloh...Wahai para pencari ke ridhoan sesungguhnya hanya dari kerihoan Alloh saja yang akan menyelamatkan...Wahai para pencari kesenangan sesungguhnya kesenangan sejati hanya dari Alloh saja kelak ...

Selasa, 21 Desember 2010

Antara Ariel Peterpan dan Poligami

Persidangan Ariel vokalis peterpan masih berjalan dan semua orang selalu mengikutinya , setiap ada berita tentang Ariel Peterpan , maka semua media Televisi memuatnya, wartawan rela berdesak-desakan hanya untuk mendapatkan gambar seorang manusia yang telah berbuat dosa besar dan dipublikasikan oleh orang lain.

Sungguh suatu renungan bagi kita , bahwa tidak serta merta Allah menjadikan Ariel sebagai satu contoh bahwa suatu perzinahan adalah sangat dilarang oleh agama karena akan membawa kemurkaan Allah dan juga akan menimbulkan kerugian bagi siapa saja yang melakukannya, selain itu berzina akan mengakibatkan kaburnya penjelasan tentang siapa sebenarnya ayah dari jabang bayi tersebut .

Sekarang kita berbicara sedikit tentang poligami yang sudah jelas diperbolehkan dan dihalalkan bagi siapa saja yang merasa mempunyai kecukupan dan kemampuan untuk berbuat adil. Sungguh menyedihkan bila seseorang yang berjuang demi agama dan menjaga kemuliaan dirinya kemudian melakukan poligami yang halal malah di jauhi oleh media masa, mungkin karena tidak populis ataupun punya ketakutan tidak dapat rupiah dari pemasangan iklan. Hal ini yang terjadi kepada salah satu ulama besar di Indonesia yang kemuliaannya dan tausyiahnya bahkan di nantikan oleh orang Arab sekalipun , tetapi di Indonesia malah di nomor duakan.

Sesungguhnya ... negara ini sangat membutuhkan contoh kemuliaan dari dari dirinya, yang membiarkan kepopuleran hilang demi rasa cinta kepadaNya dan demi jalan dakwah yang diyakini kebenarannya.
Sesungguhnya ... hanya media masa yang dewasa dan mengerti bahwa rizki hanya dari Allah dan meyakini bahwa sesungguhnya rizki manusia tidak akan tertukar yang akan mengerti dan memahami bahwa lebih baik dan mulia untuk memberitakan kemuliaan daripada memberitakan berita tentang dosa seseorang.
Sesungguhnya ... menjalankan poligami dan mempercepat proses pernikahan adalah salah satu jalan yang baik agar terhindar dari perbuatan dosa besar dan mencegah dari kemurkaan Allah.
Sesungguhnya ... menjaga kemuliaan diri dengan menjalankan sesuatu yang mungkin belum lumrah dan berkenan di hati banyak adalah lebih baik daripada terjebak kepada kesalahan besar yang akan menjadi tontonan banyak orang.

Demi kemuliaan dan dukungan dakwah guru kami tulisan ini kami persembahkan.

Dari kantorku di Menara kuningan.

Minggu, 06 Desember 2009

Untuk Bidadariku-2

Kau ku temukan tak sengaja diantara belantara dunia maya
Kau ku temukan dengan pertolonganNya
Kau kutemukan dengan bimbinganNya

Bidadariku ...ku tahu cintamu begitu tulus
Bidadariku ...ku tahu cintamu begitu suci
Tak tergores dan terserak daun - daun kotor
Tak sedikitpun ternodai oleh palsunya cinta

Bidadariku ... kembalilah tersenyum
Agar dunia ini pun kembali tersenyum
Agar senyummu menyinari hati ini
Agar kemurnian hatimu bisa terpancar dari wajahmu
Agar kemurnian cintamu bisa menyirami hati yang sedang berbunga

Bidadariku ... kembalilah berkarya
Agar orang - orang yang mencintaimu akan semakin bangga
Agar orang - orang yang ingin memilikimu semakin bertambah cintanya
Agar orang - orang turut mengikuti karyamu

Bidadariku ... Sungguh ku mencintaimu
Disetiap langkah dan nafasku
Disetiap detik dan waktuku
Disetiap hembusan nafasku

Bidadariku...sungguh ku menyayangi dan merindukanmu
Disetiap tatapan mataku
dan disetiap pandangan jiwaku

Selasa, 10 November 2009

Keutamaan Surat Al Kahfi dan Fitnah Dajjal

Keutamaan surat Al - Kahfi dan Fitnah Dajjal

Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang membaca surat Al-Kahfi, ia akan terjaga selama delapan hari dari setiap fitnah, jika Dajjal keluar dalam delapan hari Allah akan menjaganya dari fitnah Dajjal.” Hadis ini bersumber dari Ubay bin Ka’b dari Nabi saw. (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 3: 242)

Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang membaca sepuluh ayat dari surat Al-Kahfi, ia tidak akan terkena bahaya fitnah Dajjal, barangsiapa yang membaca seluruh ayatnya ia akan masuk surga.” Hadis ini bersumber dari Sammarah bin Jundab dari Nabi saw. (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 3: 242)

Rasulullah saw bersabda:
“Maukah aku tunjukkan padamu suatu surat yang diikuti oleh seribu malaikat ketika diturunkan, dan keagungannya memenuhi antara langit dan bumi?” Sahabat menjawab: Mau. Rasulullah saw bersabda: “Surat Ashhabul Kahfi. Barangsiapa yang membacanya pada hari Jum’at, Allah akan mengampuni dosanya sampai Jum’at berikutnya dan ditambah tiga hari, diberi cahaya yang mencapai ke langit, dan akan terjaga dari fitnah Dajjal.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 3: 243)

Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang menjaga sepuluh ayat dari surat Al-Kahfi, ia akan memiliki cahaya pada hari kiamat.” Hadis ini bersumber dari Abu Darda’ dari Nabi saw. (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 3: 243)

Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at, ia akan terjaga hingga tahun berikutnya dari setiap fitnah, dan jika Dajjal keluar ia akan terjaga darinya.” Hadis ini bersumber dari Said bin Muhammad Al-Jurmi dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi saw. (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 3: 243)

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata:
“Barangsiapa yang membaca surat Al-Kahfi setiap malam Jum’at, ia tak akan mati kecuali mati syahid, Allah akan membangkitkannya sebagai orang yang syahid, dan pada hari kiamat ia akan bersama orang-orang yang syahid.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 3: 242)

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata:
“Barangsiapa yang membaca surat Al-Kahfi setiap malam Jum’at, ia diampuni dosanya antara Jum’at dan Jum’at berikutnya.” Hadis ini bersumber dari Ayyub bin Nuh dari Muhammad bin Abi Hamzah dari Imam Ja’far Ash-Shadiq. (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 3: 242)

Dari : tafsirtematis.wordpress.com

Selamat jalan Suamiku tercinta

Selamat Jalan Suamiku Tercinta...
Oleh : Iswari Nur Hidayati

"... Karena sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan..."(Q.S. Al Insyirah : 5-6)
Hmm...hm.. Darimana aku harus memulai menulisnya ya, kenangan yang indah, kenangan yang luar biasa, dan subhanallah.. Maha Besar Allah dengan segala takdirNya..

Dua puluh tiga bulan yang lalu, ketika ucapak akad nikah itu terlantun dari bibirnya.. ketika itu pula saya merasa bahwa status saya telah berubah, yaitu menjadi seorang istri dari suami yang sholeh..

Hari-hari kami penuhi dengan ucapan syukur pada Illahi Rabbi... Ya Allah terima kasih, engkau telah mengirimkan padaku seorang suami yang sabar, rendah hati, dan sangat menyayangiku..

Subhanallah, Allahu Akbar. Hari-hari kami lalui dengan penuh kebahagiaan dan penuh senyuman juga harapan. Kami susun lembaran rencana hidup kami yang akan kami lakukan..

Hm..hm..2 bulan setelah menikah, tepatnya Bulan Syawal tahun 2006, pagi itu terasa pusing sekali diriku, terasa berkunang-kunang. Ternyata, alhamdulillah Allah menitipkan janin kecil pada kami. Subhanallah, ada janin kecil dalam rahimku..

Allahu akbar, hari-hari kami lalui dengan semangat yang membara, karena sebentar lagi akan lahir putra kami..hm..hm..rasanya tak sabar menunggunya.. Kami berdua tetap beraktivitas seperti biasa, kuliah S2 kami tetap kami lalui. Karena kami memang punya kewajiban untuk menyelesaikan S2 kami masing-masing...

Tak terasa, kehamilan 6 bulan tiba..hm.. Badanku sudah mulai gemuk, tetapi belum begitu gemuk kata teman2ku..
Tiba saatnya suami tercinta bertolah ke Netherland, untuk melanjutkan S2nya. Rasanya begitu berat, ditengah kehamilan yang menginjak usia 6 bulan, 3 bulan lagi saatnya untuk melahirkan.. tetapi bagaimanapun juga dalam pikiranku, aku hanya ingin melihat suami tercinta berhasil dalam hidup dan kuliahnya. Dengan penuh suka cita dan linangan air mata aku melepas kepergiannya di Bandara Adisucipto.. Ujian pernikahan kami tidak sampai disini, suamiku ternyata mendapatkan sedikit ujian tentang penerbangannya. Dia harus "delay" satu hari di Malaysia. Dengan anakku yang masih ada diperutku, aku mencoba mengurus tiket penerbangan suamiku.. Hm..ditengah kelelahan yang menderam ternyata ada kepuasan batin ketika dengan keikhlasan membantu sang suami tercinta. Semoga Allah meridhoi langkah ini, menjadikan pahala atasku untuk berkhidmat kepada suami tercinta..

Hari-hari di Netherland, terasa begitu lama. Komunikasi lewat handphone dan yahoo messenger merupakan cara kami untuk tetap berkomunikasi, walau memang pulsa membengkak, tetapi tidak jadi masalh bagi kami. Beliau selalu bilang "De, insya Allah ada gantinya sayangku..".
Linangan airmata kerinduan untuk bertemu dengan suami terus mendera, akan tetapi semangat untuk mendukungnya, untuk memberikan motivasi padanya mengalahkan segala kelelahan.

Bulan Juni tiba, ujian S2 ku segera digelar sambil menunggu kehadiran suami tercinta dari negeri orang. Hari-hari terus menunggu kepulangannya, hingga tanggal 26 Juni tiba. Saat itu aku selesai ujian semenster 2 S2 ku, pulang jam 5 sore. Bahagia sekali, insya Allah nanti malam berjumpa suami tercinta. Alhamdulillah, "sayangku, insya Allah nanti malam ketemu Ayah.." jam 20.30 aku bertolak ke Bandara untuk menjemput suami tercinta. Alhamdulillah, airmata ini menetes ketika melihat beliau memelukku, mencium keningku tanda kerinduan yang terpendam. Subhanallah, rasanya bahagia sekali ketika berjumpa dengannya setelah terpisah 3 bulan lamanya.

Hm..hm..rasa lelah mendera kami berdua, malam itu seolah cerita tiada habisnya. Alhamdulillah, mas bisa menunggu putra kita lahir di dunia, insya Allah. bahagianya rasanya kembali bisa berkumpul dengan suami..

Keesokan paginya, suami mohon ijin untuk istirahat ditengah kelehannya dari Belanda. Tetapi, jam 08.30 pagi...aku bilang "mas, kayaknya kita harus ke rumah sakit.." Tiba2 air ketubanku pecah, dan panik...tetapi dengan ketenangan suamiku, akhirnya kami ke Rumah Sakit Ibu dan Anak untuk bersalin..

Puji syukur kehadirat Allah, alhamdulillah sudah bukaan 1. Tetapi ketuban itu terus dan terus keluar, hingga pukul 11.30 alhamdulillah sudah bukaan 8, kemudian jam 12.30 alhamdulillah bukaan 10. Persalinan dijelang, aku masuh ruang persalinan ditungguin oleh suami tercinta. beliau tak hentinya melafadzkan dzikir sambil memegang erat tanganku yang sedang berusaha untuk melahirkan. Sampai jam 15.30 anakku juga belum lahir.. Kami masih berusaha sekuat tenaga untuk proses persalinan normal. Suamiku tak henti2nya meneteskan airmata ketika melihatku melalui proses persalinan. Dokterpun masuk mengontrol kami, kemudian hati kami berdua dikejutkan dengan kata2 "Denyut jantungnya melemah,.." tetapi kekuasaan Allah, 5 menit kemudian diperiksa alhamdulillah normal. Kemudian pukul 16.00 diputuskan untuk operasi caesar. Dan kamipun menyanggupinya.

Alhamdulillah jam 16.45 putra kami lahir, laki-laki dan kami beri nama Asfarizal Abdurrahim Fadiyya Alfauzan. Alhamdulillah, hidunya mancung seperti ayahnya, hampir semuanya mirip ayahnya. Suamiku menangis tak henti-henti....bersyukur kepada Allah, setiap hari beliau melantunkan hafalan surat2 dalam AlQuran, juz 29 yang sering ia bacakan untukku dan putraku dengan hafalan beliau.
Kebahagiaan menyelimuti kami berdua, dan putra kami ajak untuk kuliah S2..

Alhamdulillah suami hampir selesai S2, dan Allah memberikan kemudahan baginya untuk S3. Akan tetapi sebelum bulan November beliau harus selesai S2nya. Ditengah kesibukan kami sebagai orang tua baru, kami harus bekerja sama untuk menyelesaikan S2 suamiku. Alhamdulillah sesuai dengan rencana.

Tiap malam aku menemaninya dan membantunya untuk menyelesaikan S2nya, dan kemudian ditambah lagi dia harus membawa jurnal yang akan dipresentasikan ke Thailand. Alhamdulillah jurnal diterima oleh pihak penyelenggara, dan beliau dijanjikan untuk S3 ke Jepang, Nagoya University apabila beliau bisa menyampaikan paper di seminar dengan baik.

Hari keberangkatan tiba, tanggal 2 November 2007. dengan sukacita beliau bertolak ke Thailand, dengan 'sangu" akan menjadi pembicara disana. sms demi sms kuterima dengan penuh kebahagiaan dan sukacita. Alhamdulillah, sang promotor menyetujui beliau untuk melanjutkan S3 ke Jepang. beliau sms, "Alhamdulillah istriku tercinta, mas bisa berangkat ke Jepang karena Pak Profesor menerima pemaparan mas dengan baik, insya Allah". Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan bagi kami berdua.

Berita gembira itu masih kusimpan dalam handphoneku, dan juga semangat yang dia berikan padaku: "Bunda, alhamdulillah kita punya kehidupan sendiri yang kita bisa bersama berjuang dan meraih impian. Semangat ya bunda, doa ayah selalu terucap untukmu". Subhanallah, beliau sangat menyayangiku, selalu mengobarkan semangat untukku.

Tanggal 4 November, sms demi sms masih kuterima hingga jam 12.45. Kubalas sms itu dan masuk hingga jam 14.00. kebahagiaan menyelimuti hidup kami, dan tak kami duga dan tak kami sangka, ternyata Allah punya rencana besar buat kami.

Jam 15.00 waktu Thailand, suamiku mengalami kecelakaan speedboad, dan Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, dia berpulang kepada Allah Sang Maha Pencipta. Kabar itu kuterima jam 21.30 malam, ketika berita itu disampaikan padaku, aku hanya bisa mengambil air wudhu kemudian menangis dihadapan Allah, sholat sunnah 2 rokaat untuk menguatkan hatiku, hingga yang keluar hanyalah "Innalillahi wa inna illaihi roji'un. Allahuma Ajirnii fii mushibati wakhlufli khoiru minha..." Ya Allah berilah aku pahala atas ujian ini, ringankanlah ujian ini, dan gantilah dengan yang lebih baik..."

Linangan airmata tak henti dari mataku, bibirku kelu untuk berucap apapun, aku tak kuasa menahan tangis ketika orang2 mulai berdatangan untuk mengucapkan bela sungkawa padaku. Hanya lantunan "Laa haula wa laa quwwata illa billah" yang mampu aku ucapkan untuk menguatkanku.
Hari senin, aku masih menantikan kepulangan jenazan suami tercinta. Kupenuhi dengan sholat, entah sholat sunah apapun aku usahakan lakukan agar aku tetap khusnudzon sama Allah, begitu berat rasanya hati ini untuk menerima takdir Allah. Putraku masih 4 bulan. Senin, pembicaraan panjang tentang pemulangan suamiku, dan aku menhandle sendiri. Semuanya bermusayawarah denganku tentang kepulangan jenazah suamiku.
Hari selasa tiba, jadwal kepulangan suamiku memang sesuai dengan jadwal kepulangan yang direncanakan. Hanya yang berbeda adalah wujudnya. Dia berpulang dalam keadaan membujur kaku tak berucap sedikitpun. Aku ingin menjemputnya dalam pelukanku, akan tetapi dia sudah dibungkus peti jenazah dengan rapi dan di atasnya adalah surat2 kematian untukku, bukan pesan indah darinya tetapi pesan dari KBRI di Thailand.

Selasa, 6 November 2007, kami keluarga besar beserta tim dari UGM menjempunya di bandara AdiSucipto. Aku tak mampu untuk meguasai diriku, airmata keluar tak terasa sebagai wujud cintaku padanya. Laa haula walla quwwata tak henti dari bibirku, sambil menggendong putraku aku menyapa suamiku.. "Assalamu'alaikum sayangku, cintaku...Selamat datang suamiku tercinta.." Aku hanya mencium peti jenazahnya, bukan dirinya. Allahu Akbar..

Sampai di rumah duka, peti jenazah dibuka, subhanallah, allahu akbar, suamiku tersenyum di peti jenazah itu. Berulang kali aku mengusap wajahnya, dan airmataku kutahan dengan sekuat tenagaku. Aku menemaninya di dekat peti jenazah suamiku..

Pemakamanpun tiba, aku menemaninya hingga beliau dimasukkan ke dalam liang lahat. Dan itu untuk terakhir kalinya aku memandang suamiku tercinta, tetesan airmata membaasahi pipiku.. Aku tak mampu untuk berucap apapun kecuali lantunan doa untuknya untuk suami tercinta...
Aku pulang dari makam dengan langakh gontai, tetapi aku ingat anakku...

Selamat Jalan suamiku tercinta, semoga Allah mengampunimu.. engkau pergi ke Thailand dalam rangka menuntut ilmu dan menyebarkan ilmu, dan juga memperjuangkan keluargamu dan masa depanmu, Banyak yang mengatakan engkau syahid suamiku, karena engkau meninggal tenggelam.

Suamiku tercinta, selamat Jalan...Semoga Allah mengampuni dosa2mu, melapangkan kuburmu,menerangi kuburmu, dan menjadikan kuburmu sebagai bagian dari taman surgaNya..

Aku sangat mencintaimu suamiku..
(Insya Allah, cerita ini akan berlanjut. Maaf, saya belum bisa melanjutkan semua ini. Semoga Allah memberikan kekuatan kepada saya dan putra saya untuk melanjutkan perjuangan demi ridhoNya..)


Dari : kumpulan artikel Islami : www.dudung.net

Senin, 23 Februari 2009

Tasawuf

Dari Yazid bin Abu Ziyad, dari Abu Juhaifah yang menuturkan, "Pada suatu hari Rasulullah saw keluar menemui kami dengan rozman wajah yang berubah, lalu beliau bersabda:

"Kesucian dunia telah lenyap, yang tinggal hanya kekotoran. Hari ini, kematian adalah penghargaan bagi setiap Muslim." (H.r. Daraquthni, namun riwayat dari Jabir).

Kata Sufi telah menjadi sebutan umum bagi kelompok ini. Jadi seseorang dikatakan seorang Sufi dan kelompoknya disebut Sufiyah. Orang yang berusaha menjadi Sufi disebut mutashawwif, dan jamaahnya disebut mutashawwifah.

Tidak ada bukti etimologis ataupun analogis dengan kata lain dalam bahasa Arab yang bisa diturunkan dari sebutan Sufi. Penafsiran yang paling masuk akal adalah bahwa Sufi banyak serupa dengan laqab (gelar).

Ada orang-orang yang mengatakan bahwa kata Sufi diambil dari kata souf (bulu). Jadi, tashawwuf [tasawuf] digunakan dengan artian "memakai kain bulu", sebagaimana kata taqammus digunakan dengan arti "memakai baju" (qamis). Itu hanya satu pandangan saja. Tapi sesungguhnya kaum Sufi tidak mencirikan dirinya dengan memakai pakaian dari bulu.

Ada pendapat mengatakan bahwa kaum Sufi berhubungan dengan serambi (shuffah) masjid Rasulullah saw. Tetapi kata shuffah tidaklah dihubungkan dengan Sufi.

Kelompok lain mengatakan bahwa kata Sufi berasal dari kata shafa’, yang berarti "kemurnian." Pengaitan kata Sufi dari shafa’ tidaklah mungkin ditinjau dari sudut bahasa. Sebagian orang mengatakan bahwa kata Sufi berasal dari shaff, yang berarti barisan, seakan-akan dikatakan hati mereka ada di barisan depan dalam muhadharah di hadapan Allah swt. Ini memang benar dalam arti. Namun kata Sufi tidak bisa menjadi bentuk fa’il dari kata shaf

Kesimpulannya, kelompok ini begitu terkenal sehingga tidaklah perlu mencari analogi atau penurunan akar kata untuk sebutan bagi mereka.

Setiap orang yang berbicara tentang arti tasawuf, selalu bertanya, apa arti tasawuf? Dan siapa yang disebut Sufi? Setiap ungkapan selalu dikaitkan dengan pengalamannya sendiri. Kami akan menyebutkan sebagian ucapan mereka secara sekilas saja:

Ketika Muhammad Al Jurairy ditanya tentang tasawuf, dia menjelaskan, ‘*Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela."

Al Junayd ditanya soal tasawuf, ia menjawab, "Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya."

Al-Husain bin Manshur Al-Hallaj, ketika.ditanya tentang Sufi menjawab, "Kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun yang menerimanya, dan juga tak menerima siapa pun."

Abu Hamzah Al-Baghdady berkata, "Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, dan dia bersembunyi setelah terkenal. Tanda seorang Sufi palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tinggi setelah mengalami kehinaan, dan dia menjadi masyhur setelah tersembunyi."

Amr bin Utsman Al-Makky ditanya tentang tasawuf, "Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik pada saat itu."

Muhammad bin Ali’al-Qashshab mengatakan, "Tasawuf adalah akhlak mulia, dari orang yang mulia, di tengah-tengah kaum yang mulia."

Ketika ditanya tentang tasawuf, Samnun berkata, "Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki oleh apa pun."

Ruwaym ditanya tentang tasawuf, "Tasawuf artinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan apa pun yang dikehendakiNya."

Al Junayd ditanya tentang tasawuf, "Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah swt. tanpa keterikatan apa pun."

Ruwaym bin Ahmad berkata, "Tasawuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan kefakiran; mencapai sifat hakikat dengan memberi, dengan cara mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri; dan meninggalkan sikap menentang dan memilih."

Ma’ruf al-Karkhy menjelaskan, "Tasawuf artinya memihak pada hakikat-hakikat, dan memutuskan harapan dan semua yang ada pada makhluk."

Hamdun al-Qashshar berkata, "Bersahabatlah dengan para Sufi, karena mereka melihat alasan-alasan untuk memaafkan perbuatan-perbuatan yang tak baik, dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baik pun bukan sesuatu yang besar, bahkan mereka bukan menganggapmu besar karena mengerjakannya."

Al-Kharraz menjawab, ketika ditanya tentang ahli tasawuf, "Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami pelapangan, yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Kemudian mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di hatinya, `Ingatlah! Menangislah kalian karena Kami’."

Al Junayd berkata, "Tasawuf adalah perang tanpa kompromi." Dia berkata pula, "Para Sufi adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka." Selanjutnya dia juga menjelaskan lagi, "Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang disertai penyimakan, dan tindakan yang didasari Sunnah."

Al Junayd menyatakan, "Kaum Sufi adalah seperti bumi, selalu semua kotoran dicampakkan kepadanya, namun tidak menumbuhkan kecuali segala tumbuhan yang baik. " Dia juga mengatakan, "Seorang Sufi adalah bagaikan bumi, yang diinjak orang saleh maupun pendosa;

juga seperti mendung, memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu. " Dia melanjutkan, "Jika engkau melihat seorang Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriahnya, maka ketahuilah wujud batinnya rusak."

Sahl bin Abdullah berkata, "Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis."

Ahmad an-Nury berkata, "Tanda seorang Sufi adalah dia merasa rela manakala tidak punya, dan peduli orang lain ketika ada." Muhammad bin Ali al-Kattany menegaskan, "Tasawuf adalah akhlak yang baik. Barangsiapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti la melebihimu dalam tasawuf."

Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary mengatakan, "Tasawuf adalah tinggal di pintu sang kekasih sekalipun engkau diusir." Dia juga mengatakan, "Tasawuf adalah sucinya taqarrub setelah kotornya kejauhan dari-Nya."

Dikatakan, "Orang yang paling kotor adalah seorang Sufi yang amat kikir."

Dikatakan, "Tasawuf adalah tangan yang kosong dan hati yang baik."

Asy-Syibly mengatakan, "Tasawuf adalah duduk bersama Allah swt. tanpa hasrat."

Dikatakan, "Sufi adalah orang yang mengisyaratkan dari Allah swt, sedangkan manusia mengisyaratkan kepada Allah swt." Asy-Syibly mengatakan, "Sufi terpisah dari manusia dan bersambung dengan Allah swt. sebagaimana difirmankan Allah swt. kepada Musa,’Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku’ (Q.s. Thaha: 41), dan memisahkannya dari yang lain. Kemudian Allah swt. berfirman kepadanya, ‘Engkau tidak akan bisa melihat-Ku’." Asy-Syibly juga mengatakan, "Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Tuhan Al-Haq." Katanya, "Tasawuf adalah kilat yang menyala," dan, "Tasawuf terlindung dari memandang makhluk."

Ruwaym berkata, "Para Sufi akan tetap penuh dengan kebaikan selama mereka bertengkar satu dengan yang lain. Tapi segera setelah mereka berdamai, maka tak ada lagi kebaikan pada mereka."

Al Jurairy mengatakan, "Tasawuf berarti kesadaran atas keadaan-keadaan diri sendiri dan berpegang pada adab."

Al-Muzayyin menegaskan, "Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq."

Askar an-Nakhsyaby menyatakan, "Seorang Sufi tidaklah dikotori oleh sesuatu pun, tapi menyucikan segala sesuatu."

Dikatakan, "Pencarian tidaklah meletihkan sang Sufi, dan hal-hal duniawi tidaklah mengganggunya."Ketika Dzun Nuun Al-Mishry ditanya tentang orang-orang Sufi, dia menjawab, "Mereka adalah kaum yang mengutamakan Allah swt. di atas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada."Muhammad al-Wasithy mengatakan, "Mula-mula para Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan, dan sekarang tak ada sesuatu pun yang tinggal selain kesedihan."

An-Nury ditanya tentang Sufi, dan dia menjawab, "Sufi adalah manusia yang menyimak pendengaran dan yang mengutamakan sebab-sebab yang diridhai." Abu Nashr as-Sarraj ath-Thausy berkata, "Aku bertanya kepada All al-Hushry `Siapakah, menurutmu, Sufi itu?’ Dia menjawab, `Yang tidak dibawa bumi dan tidak dinaungi langit.’ Dengan ucapannya, menurut saya, ini Al-Hushry merujuk kepada nuansa keleburan." Dikatakan, "Sufi adalah orang yang manakala disuguhi dua keadaan atau dua akhlak yang baik, dia akan memilih yang lebih baik diantaranya." Asy-Syibly ditanya, "Mengapa para Sufi itu disebut Sufi?" Dia menjawab, "Hal itu karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka." Ahmad Ibnul Jalla’ ditanya, "Apakah yang disebut Sufi?" Dia menjawab, "Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiah, namun kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tak memiliki sarana-sarana duniawi.

Mereka bersama Allah swt. tanpa terikat pada suatu tempat, tetapi Allah swt. tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat. Karenanya disebut Sufi." Abu Ya’qub al-Mazabily menjelaskan, "Tasawuf adalah keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus." Abul Hasan as-Sirwany mengatakan, "Sufi adalah yang bersama ilham, bukan dengan wirid-wirid yang menyertainya."Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, "Yang terbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah, `Inilah Jalan yang tidak cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah swt. untuk menyapu kotoran binatang’."Abu Ali pada suatu hari menyatakan, "Seandainya sang fakir tak punya apa-apa lagi yang tersisa selain ruhnya, dan ruhnya itu ditawarkannya kepada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang akan menaruh perhatian kepadanya." Syeikh Abu Sahl Ash-Sha’luky berkata, "Tasawuf adalah berpaling dari sikap menentang ketetapan Allah swt." Al-Hushry berkomentar, "Sang Sufi tiada setelah ketiadaannya, dan tidak pula tiada setelah keberadaannya."

Ucapan ini tidak mudah dipahami. Kata-kata, "Dia tiada setelah ketiadaannya," berarti bahwa setelah cacat-cacatnya hilang, cacat-cacat itu tidaklah akan kembali. Perkataan, "Tidak pula dia tiada setelah keberadaannya," berarti bahwa dia sibuk bersama Allah swt, tidak akan gugur karena gugurnya makhluk. Seluruh peristiwa dunia tidaklah mempengaruhinya. Dikatakan, "Sang Sufi terhapuskan dalam kilasan yang diterimanya dari Allah." Dikatakan pula, "Sang Sufi terkungkung dalam pelaksanaan Rububiyah dan tertutupi melalui pelaksanaan ubudiyah." Juga dikatakan, "Sufi itu tidak berubah. Tapi seandainya dia berubah, dia tidak akan ternodai." dari sufinews.com

Kefakiran

Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairi
Allah Swt berfirman:
“(Infaq itu) untuk orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena (mereka) memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (Q.s. Al-Baqarah: 273).

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi saw telah bersabda :
“Orang-orang miskin akan memasuki surga limaratus tahun sebelum orang-orang kaya. (Limaratus tahun itu) sama dengan setengah hari (surga).” (H.r. Tirmidzi).

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah saw telah bersabda:
“Orang miskin itu bukanlah dia yang berkeliling ke sana kemari dengan harapan diberi orang sesuap dua suap, sebutir atau dua butir kurma. “ Seseorang bertanya, “Kalau begitu, siapakah orang miskin itu wahai Rasulullah?” Nabi saw menjawab, “Dia adalah orang yang tidak menemukan kepuasan atas kekayaannya, dan malu minta manusia, tidak pula orang banyak mengetahui hal ihwal mereka hingga mereka bisa diberi sedekah.” (H.r. Ahmad).

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar, tentang ucapan Nabi saw, “dan malu meminta,”artinya adalah bahwa mereka malu kepada Allah swt. untuk meminta-minta dari orang banyak, bukan malu kepada manusia.

Kefakiran adalah simbol para wali dan hiasan para Sufi, pilihan Allah swt. pada orang takwa pilihan dan para Nabi. Sedangkan para Sufi fakir merupakan pilihan Allah swt. bagi hamba-hamba-Nya. Mereka adalah pengemban rahasia-rahasia-Nya di antara para hambaNya, yang dengan mereka Dia menjaga para makhluk dan dengan keberkatan mereka rezeki disebarkan di kalangan manusia.

Orang-orang fakir yang sabar akan menjadi sahabat-sahabat Allah swt. pada Hari Kebangkitan, seperti dikatakan dalam hadis riwayat Umar bin Khathab r.a, yang mengatakan bahwa Rasulullah saw telah bersabda, “Segala sesuatu ada kuncinya, dan kunci surga adalah mencintai orang-orang miskin. Kaum fakir yang sabar akan menjadi sahabat-sahabat Allah Swt. pada Hari Kebangkitan.” (H.r. Ibnu Laal, dari Ibnu Umar).

Diceritakan bahwa seorang laki-laki membawa.kan uang sebanyak sepuluh ribu dirham kepada Ibrahim bin Adham, tetapi Ibrahim tidak menerimanya dan berkata, “Engkau mau menghapus namaku dari daftar orang-orang miskin dengan uang sepuluh ribu dirham! Aku tidak akan menerimanya!”
Mu’adz an-Nasafi menegaskan, “Allah tidak pernah membinasakan suatu kaum, apa pun kejahatan yang mereka lakukan, kecuali jika mereka merendahkan dan menghina kaum miskin.

“Dikatakan, manakala para fakir tidak memiliki kebajikan lain dalam pandangan Allah selain keinginan mereka agar rezeki dilimpahkan dan dimurahkan di kalangan kaum Muslimin, niscaya itu sudah cukup bagi mereka, sebab mereka perlu membeli barang-barang dan orang-orang kaya perlu menjualnya. Begitulah halnya dengan kaum miskin yang awam, maka bagaimana pula halnya dengan kaum yang terpilih di kalangan mereka?
Ketika Yahya bin Mu’adz ditanya tentang kefakiran, dia menjawab, “Hakikat kefakiran adalah bahwa seseorang tidak butuh lagi selain Allah, clan tanda kefakiran adalah tidak adanya harta benda.”

Ibrahim al-Qashshar mengatakan, “Kefakiran adalah pakaian yang mewariskan ridha, apabila fakir memakainya.”
Seorang fakir dari Zauzan datang kepada Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq pada tahun 394 atau 395 Hijriyah. Dia memakai pakaian yang terbuat dari kain yang sangat kasar dan kopiah dari kain yang sama. Salah seorang sahabat syeikh itu bertanya dengan nada bergurau, “Berapa harga pakaianmu ini?” Dia menjawab, “Aku membayarnya dengan dunia ini, dan akhirat ditawarkan kepadaku untuk ditukar dengannya. Tapi aku tidak akan menjualnya dengan harta tersebut.”

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan, “Suatu ketika seorang miskin mendatangi sebuah pertemuan untuk meminta sedekah, seraya berkata, ‘Saya sudah tiga hari tidak makan.’ Salah seorang syeikh yang hadir di situ berkata, ‘Engkau dusta! Kemiskinan adalah rahasia Tuhan. Dia tidak mempercayakan rahasia-Nya kepada orang yang memamerkannya kepada siapa pun yang dikehendakinya’!”

Hamdun al-Qashshar menyatakan, “Manakala iblis dan tentaranya berkumpul, mereka tidak bergembira sebagaimana kegembiraan mereka yang disebabkan tiga hal: seorang Muslim membunuh sesama Muslim, seseorang yang mati dalam keadaan kafir, dan sebuah hati yang menyimpan ketakutan pada kemiskinan.”

Al Junayd berkata, “Wahai orang-orang fakir, kamu semua dijadikan terkenal oleh Allah swt. dan dihormati karena-Nya. Tetapi perhatikanlah bagaimana keadaanmu manakala kamu berada sendirian bersama-Nya.” Al-Junayd ditanya, “Keadaan manakah yang lebih baik: miskin dan bergantung pada Tuhan, ataukah dijadikan kaya oleh-Nya?” Dia menjauvab, “Jika kemiskinan seseorang adalah shahih, maka kekayaannya adalah shahih di sisi-Nya. Jika kekayaannya di sisi-Nya adalah shahih, maka kemiskinan dan ketergantungannya pada-Nya juga tersempurnakan. Janganlah bertanya, ‘Manakah yang lebih baik?’ sebab keduanya. adalah keadaan yang salah satunya tidak akan lengkap tanpa yang lain.”

Ruwaym ditanya tentang tanda seorang miskin, “Miskin berarti menyerahkan jiwa kepada ketentuan-ketentuan Allah swt.” Dikatakan pula bahwa ada tiga tanda seorang miskin: dia melindungi batinnya, dia melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya,dia menyembunyikan kemiskinannya.

Seseorang bertanya kepada Abu Sa’id al-Kharraz, “Mengapa kemurahan hati orang kaya tidak sampai kepada orang miskin?” Dia menjawab, “Karena tiga alasan: kekayaan mereka didapatkan dengan jalan yang tidak halal, mereka tidak dimampukan untuk memberi sedekah, dan penderitaan orang miskin itu memang dikehendaki. ” Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Musa as, “Jika engkau berjumpa dengan orang-orang miskin, tanyakanlah tentang mereka seperti engkau tanyakan kepada orang-orang kaya. Jika hal itu tidak engkau lakukan, maka campakkanlah ke tanah semua yang telah Ku ajarkan kepadamu.”

Diriwayatkan bahwa Abu Darda’ menegaskan, “Aku lebih suka jatuh dari tembok istana dan remuk daripada duduk bersama orang kaya, karena aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
‘Waspadalah untuk duduk-duduk bersama orang mati!’ Seseorang bertanya, ‘Siapa orang mati itu?’ Beliau menjawab, ‘Orang-orang kaya.’ (H.r. Tirmidzi dan Hakim).”2’

Seseorang berkata kepada ar-Rabi’ bin Khaitsam, “Harga-harga telah naik!” Dia menjawab, “Kita tidak berharga untuk dibuat lapar oleh Allah. Dia hanya melakukan hal itu pada wali-wali-Nya.”

‘Dalam riwayat -Tirmidzi (kata aghniya’ sebagai ganti kata mauta) dalam bab al-Libas. Dan beliau menganggapnya hadis dha’if. Namun menurut al-Hakim, hadis tersebut shahih.
Ibrahim bin Adham mengatakan, “Kami meminta kemiskinan tapi diberi kekayaan; orang lain meminta kekayaan tapi kemiskinan datang kepada mereka.”

Seorang laki-laki bertanya kepada Yahya bin Mu’adz, “Apakah kemiskinan itu?” Dia berkata, “Takut pada kemiskinan itu sendiri.” Orang itu bertanya lagi, “Lantas, apa kekayaan itu?” Dia menjawab, “Rasa aman di sisi Allah swt.”

Ibnul Kurainy berkata, “Orang miskin yang sejati menjauhi kekayaan agar kekayaan tidak mendatanginya dan merusak kemiskinannya, sebagaimana halnya orang kaya menjauhi kemiskinan agar kemiskinan tidak mendatanginya dan merusak kekayaannya.”
Abu Hafs ditanya, “Dengan cara apa orang miskin mendekati Allah swt.?” Dia menjawab, “Orang miskin tidak memiliki apa-apa selain kemiskinannya yang dengan kemiskinan itu dia mendekati Allah swt.”

Allah swt. mewahyukan kepada Musa as, “Maukah engkau memperoleh pahala amal kebajikan yang setara dengan pahala seluruh ummat manusia di Hari Kiamat nanti?” Musa menjawab, “Ya.”Allah swt. berfirman, “Kunjungilah orang sakit dan pastikanlah bahwa orang-orang miskin punya pakaian.”Musa lalu menyisihkan tujuh hari setiap bulan untuk mengunjungi orang-orang miskin dan memeriksa pakaian mereka serta mengunjungi orang sakit.

Sahl bin Abdullah menyatakan, “Ada lima mutiara jiwa: seorang miskin yang berpura-pura kaya, seorang lapar yang berpura-pura kenyang, seorangyang bersedih yang berpura-pura bahagia, seseorang yang punya musuh tapi memperlihatkan kecintaan terhadapnya, seseorangyang berpuasa di siang hari dan bangun di malam hari tanpa memperlihatkan. kelelahan.”,

Bisyr ibnul Harits berkata, “Maqam yang paling baik adalah maqam keyakinan yang kokoh dalam kesabaran melalui kemiskinan sampai masuk liang lahat.”
Dzun Nuun mengatakan, “Satu tanda kemurkaan Allah kepada seorang hamba adalah bahwa si hamba merasa takut kepada kemiskinan.”

Asy-Syibly berkomentar, “Tanda kemiskinan yang paling kecil adalah jika seluruh kekayaan dunia ini diberikan kepada seseorang dan kemudian disedekahkannya sampai habis dalam waktu satu hari, tetapi kemudian terlintas dalam pikirannya untuk menyimpan hartanya bagi esok harinya. Yang demikan itu tidak bisa dianggap benar dalam kemiskinannya.”

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Orang bertanya mana yang lebih baik: kemiskinan ataukah kekayaan. Menurut pendapatku, yang paling balk adalah bahwa seseorang diberi rezeki yang cukup untuk menghidupinya dan dia lalu menjaga dirinya dalam batas tersebut.”

Ibnul Jalla’ ditanya tentang kemiskinan. Dia diam saja, kemudian mengundurkan diri dan pergi. Sesaat kemudian dia kembali dan berkata, “Aku punya empat keping mata uang itu. Aku malu kepada Allah swt. untuk membicarakan kemiskinan.” Kata Ibnul Jalla’, “Kemudian aku pergi dan mengeluarkan uang itu. Barulah aku berbicara tentang kemiskinan.”

Ibrahim ibnul Muwallad berkata, “Aku bertanya kepada Ibnul Jalla’, ‘Kapankah orang-orang miskin patut disebut miskin? Dia menj awab, ‘Jika tak ada lagi sesuatu pun darinya yang tersisa padanya.’ Ibrahim bertanya, ‘Bagaimana bisa begitu?’ Dia menjawab, ‘Jika dia memilikinya, berarti dia tidak memiliki kemiskinan. Tapi jika dia tak lagi memilikinya, berarti dia memiliki sebutan kemiskinan itu’.”

Dikatakan bahwa keadaan miskin yang benar adalah jika si miskin tidak merasa puas dengan aspek mana pun dari kemiskinannya selain dengan Dia yang dibutuhkannya.

Abdullah ibnul Mubarak menyatakan, “Membuat diri sendiri tampak kaya sedangkan la dalam keadaan miskin, adalah lebih baik daripada kemiskinan.”

Banan al-Mishry menuturkan, “Suatu ketika aku sedang duduk-duduk di Mekkah, dan seorang pemuda berada di depanku. Seorang laki-laki datang kepadanya dengan membawa sebuah pundi-pundi berisi uang dan meletakkannya di hadapan pemuda itu. Pemuda itu berkata, ‘Aku tak membutuhkannya.’ Orang itu berkata, ‘Kalau begitu, bagi-bagikanlah kepada orang-orang miskin.’ Petang harinya kulihat pemuda itu ada di lembah sedang mengemis. Aku bertanya, Alangkah baiknya jika engkau menyimpan sedikit dari uang tadi untuk dirimu sendiri.’ Dia menjawab, ‘Siapa yang tahu kalau aku masih akan terus hidup sampai petang ini’?”

Abu Hafs berkata, “Cara yang paling baik bagi seorang hamba untuk menemui Tuhannya adalah dengan terus-menerus fakir kepada-Nya dalam setiap keadaan, mematuhi Sunnah dalam semua amal perbuatan, dan mencari rezeki dengan jalan yang halal.”

Al-Murta’isy berkomentar, “Yang paling baik adalah bahwa cita-cita orang miskin itu tidak melampaui langkah-langkahnya.” Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary menuturkan, “Ada empat orang yang merupakan model manusia pada masa mereka. Yang pertama, yaitu Yusuf bin Asbat, tidak mau menerima pemberian apa -pun dari saudara-saudaranya ataupun dari penguasa. Dia mewarisi uang sebanyak tujuh puluh ribu dirham dari saudara laki-lakinya tapi dia tak mau menerima satu sen pun darinya. la hidup dengan menjual daun kurma. Yang kedua, Abu Ishaq al-Fazzary, mau menerima pemberian dari saudara-saudaranya ataupun dari penguasa. Pemberian itu dihabiskannya untuk kebutuhan orang-orang miskin yang kemiskinannya tersembunyi dan yang tidak meminta-minta sedekah. Adapun pemberian dari penguasa, maka itu diberikannya kepada orang-orang yang patut menerimanya di kalangan warga Tarsus. Yang ketiga,Abdullah bin Mubarak, mau menerima pemberian dari saudara-saudaranya, lalu dibagi-bagikannya kepada orang lain secara adil, tetapi ia tidak mau menerima dari penguasa. Yang keempat, Makhlad bin al-Hussian, mau menerima pemberian dari penguasa, tapi tidak dari saudara-saudaranya. Dia mengatakan, ‘Penguasa tidak menganggap ada orang yang wajib untuk diberi, sedangkan saudara-saudara menganggap ada’.”

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq - semoga Allah swt. merahmati - berkata, “Ada sebuah hadis yang mengatakan, ‘Orang yang merendahkan diri di hadapan orang kaya dikarenakan kekayaannya, berarti dia telah kehilangan dua pertiga agamanya.’ Ini disebabkan karena seorang manusia terdiri dari hati, lidah dan nafsu. Jika dia merendahkan diri dengan nafsu dan lidahnya, maka dia kehilangan dua pertiga agamanya. Tetapi jika dia merendahkan diri di hadapan orang kaya itu dengan hatinya juga, maka dia kehilangan seluruh agamanya.”

Dikatakan, “Seorang miskin dalam menjalani kemiskinannya dituntut paling tidak agar dia memiliki empat hal: ilmu yang akan menjadi pertimbangannya, sikap zuhud yang akan mengendalikan dirinya, keyakinan yang akan menguatkan imannya, dan dzikir yang akan membawakan kegembiraan jiwanya.”
Dikatakan juga, “Orang yang menginginkan kemiskinan untuk kemuliaannya, ia mati dalam keadaan fakir. Barangsiapa ingin miskin agar tidak disibukkan dengan selain Allah, akan mati dalam keadaan kaya.”

Al-Muzayyin menyatakan, “Berbagai jalan kepada Allah swt. lebih banyak daripada bintang di langit. Tetapi sekarang tak satu pun diantaranya yang tersisa selain kemiskinan, dan kemiskinan adalah jalan yang terbaik di antara jalan jalan itu.”
Ketika ditanya tentang hakikat kemiskinan, asy-Syibly menjawab, “Hakikat kemiskinan adalah bahwa si hamba tidak merasa puas selain Allah swt.”

Manshur bin Khalaf al-Maghriby menuturkan, “Abu Sah1 al-Khasysyab al-Kabir mengatakan kepadaku, ‘Kemiskinan adalah kemiskinan dan kehinaan.’ Aku menjawab, ‘Bukan, justru katakan, ‘Kemiskinan adalah kemiskinan dan kemuliaan.’ Dia balik berkata, ‘Kemiskinan dan lumpur.’ Aku membalas, ‘Bukan, kemiskinan dan tahta Ilahi’.”
Syeikh Abu All ad-Daqqaq berkomentar tentang hadis Nabi saw.:
“Hampi-hampir kefakiran itu menjadi kekufuran.” (H.r. Abu Nu’aim dan Thabrani).

Maka Syeikh mengatakan, “Bahaya yang bisa timbul dari sesuatu adalah berbanding terbalik dengan manfaat dan kebajikan yang terkandung di dalamnya. Apa pun yang sangat bermanfaat dalam dirinya sendiri, mengandung bahaya yang paling besar pada sisi lainnya. Begitulah halnya dengan iman. Karena ia adalah sifat yang paling baik, maka kebalikannya adalah kekafiran. Karena bahaya yang terkandung dalam kemiskinan adalah bahwa ia bisa menjadi kufur kepada Allah swt, menunjukkan bahwa kemiskinan adalah sifat yang paling mulia.”

Al Junayd mengajarkan, “Jika engkau bertemu dengan seorang miskin, hadapilah dia dengan budimu, bukan dengan ilmumu. Kebaikan budi akan mendekatkannya, sedang ilmu akan menakutkannya.” Saya bertanya, “Wahai Abul Qasim, apakah ilmu benar-benar menjauhkan orang miskin?” Dia menjawab, “Ya. Jika si orang miskin bersikap benar dalam kemiskinannya, dan engkau mencurahkan ilmumu kepadanya, maka ilmumu itu akan meleleh seperti melelehnya timah kena api’.”

Mudzaff’ar al-Qurmisainy berkata, “Orang miskin adalah orang yang tak membutuhkan suatu kebutuhan dirinya kepada Allah swt.” Ucapan ini mempunyai makna yang samar-samar jika dipahami oleh orang yang tak memahami tujuan sang Sufi. Ucapan ini semata-mata menunjukkan dihentikannya mengajukan tuntutan, berakhirnya pilihan, dan ridha terhadap apa pun yang ditakdirkan Allah swt.”

Abdullah bin Khafif mengatakan, “Kemiskinan berarti tidak memiliki harta benda dan meninggalkan aturan-aturan manusiawi.” Abu Hafs berkata, “Kemiskinan tidaklah sempurna bagi siapa pun sampai dia lebih mengutamakan memberi daripada menerima. Kemurahan hati bukanlah orang yang berpunya memberi kepada yang tidak punya, melainkan orang yang tidak berpunya memberi kepada orang yang punya.”

Ibnul Jalla’ menegaskan, “Seandainya tidak karena adanya tujuan lebih agung dalam tawadhu’, niscaya akan menjadi cara orang miskin untuk berjalan dengan sikap penuh kebanggaan.”
Yusuf bin Asbat berkata, “Selama empat puluh tahun aku hanya memiliki dua lembar baju.”
Salah seorang Sufi menuturkan, ‘Aku melihat seolah-olah Hari Kiamat sudah tiba. Sebuah suara mengatakan, ‘Bawalah Malik bin Dinar dan Muhammad bin Wasi’ ke dalam surga.’

Maka aku perhatikan siapa di antara keduanya yang lebih dahulu masuk, dan ternyata orang itu adalah Muhammad bin Wasi’. Ketika aku bertanya mengapa dia didahulukan, dijelaskan kepadaku, ‘Dia hanya memiliki selembar baju, sedangkan Malik dua’.”

Muhammad al-Masuhy berkata, “Orang miskin adalah orang yang tidak membutuhkan terhadap sesuatu pun bagi dirinya dari harta benda duniawi.”

Sahl bin Abdullah ditanya, “Kapankah orang miskin bisa beristirahat?” Dia menjawab, “Jika dia tidak mengharapkan apa pun bagi dirinya sendiri selain dari saat kekiniannya.”

Di hadapan Yahya bin Mu’adz, orang-orang Sufi berdiskusi soal kefakiran dan kekayaan, dia berkata, “Bukanlah kemiskinan atau kekayaan yang memiliki bobot di Hari Perhitungan. Hanya kesabaran dan syukurlah yang akan ditimbang. Jadi kelak akan dikatakan, ‘Orang ini bersyukur, atau orang ini bersabar’.”
Dikatakan, “Allah swt. mewahyukan kepada sebagian para Nabi-Nya, ‘Jika kamu ingin mengetahui ridha-Ku padamu, maka lihatlah bagaimana ridhanya si fakir kepadamu’.”

Abu Bakr bin Nashr az-Zaqqaq berkata, “Orang yang tidak punya rasa takut kepada Allah swt. bersama dengan kemiskinannya berarti seluruh makanan yang dikonsumsinya benar-benar makanan haram.”

Dikatakan bahwa orang-orang miskin di pengajian-pengajian Sufyan ats-Tsaury adalah laksana para pangeran. Abu Bakr bin Thahir menyatakan, “Di antara aturan-aturan orang miskin adalah bahwa dia tidak punya keinginan, kalaupun dia berkeinginan juga, jangan sampai keinginannya melebihi kebutuhannya.”
Ibnu Atha’ membacakan syair untuk para Sufi:
Mereka berkata, esok adalah hari raya.
Apa yang akan kau pakai? Kukatakan,
Jubah kehormatan yang diberi-Nya
yang mencurahkan cinta dengan penuh kemurahan hati. Kemiskinan dan kesabaran,
adalah pakaianku yang di bawahnya ada satu hati bagi kekasihnya, yaitu hari Jum’at dan hari Raya.

Pakaian yang paling layak untuk menemui Kekasih pada hari ziarah adalah pakaian yang dicintai-Nya.
Tahun-tahun penuh berkabung bagiku
jika Kau tak ada, wahai Harapanku,
Hari Raya adalah hari ketika
aku melihat dan mendengar suara-Mu.
Ketika ditanya tentang orang miskin sejati, Abu Bakr al-Mishry menjawab, “Dia adalah orang yang tidak memiliki sesuatu dan tidak pula berkeinginan memiliki sesuatu.”

Dzun Nuun al-Mishry berkata, “Aku lebih menyukai rasa fakir kepada Allah swt. secara langgeng, dibanding memasuki dunia Sufi dengan penuh takjub.”

Abu Abdullah al-Hushry menuturkan, “Abu Ja’far al-Haddad bekerja selama dua puluh tahun, dengan penghasilan satu dinar setiap hari. Uang itu dibelanjakannya untuk orang-orang miskin sementara dia sendiri berpuasa; setelah itu dia akan berkeliling mencari sedekah setelah shalat maghrib untuk berbuka puasa.”
An-Nury menyatakan, “Tanda seorang miskin adalah kerelaan manakala dia tidak punya apa-apa dan memberi dengan murah hati manakala dia punya banyak rezeki.”

Muhammad bin All al-Kattany berkata, “Ada seorang pemuda bersama kami; di Mekkah yang memakai pakaian kum’al dan bertambal-tambal. Dia tidak pernah ikut serta dalam percakapan kami ataupun duduk bersama kami. Dalam hati aku sangat merasa sayang kepadanya. Suatu ketika aku diberi uang dua ratus dirham dari sumber yang halal. Uang itu kubawa kepadanya, ‘Uang ini telah datang kepadaku dari sumber yang halal.

Belanjakanlah untuk keperluanmu.’ Seraya memandang kepadaku dengan sikap merendahkan, dia mengungkapkan apa yang selama itu tidak kuketahui, ‘Saya membeli kesempatan untuk bisa duduk bersama Allah swt. dalam pengabdian yang leluasa ini dengan harga tujuhpuluh ribu dinar dari harta benda dan kebun-kebun saya. Sekarang Anda hendak menyesatkan saya dari keadaan saya sekarang ini dengan uang itu ke tanah.’ Ia lalu berdiri dan menolaknya. Aku duduk dan mengumpulkan uang itu dari tanah. Belum pernah aku menyaksikan kegagahan seperti kegagahan pemuda itu ketika dia berjalan pergi, ataupun kehinaan seperti kehinaanku ketika aku mengumpulkan uang itu.”

Abu Abdullah bin Khafif mengatakan, “Aku belum pernah diwajibkan membayar zakat fitrah pada akhir bulan Ramadhan selama empat puluh tahun, sementara aku diterima dengan penuh penghormatan di kalangan kaum terpilih maupun kaum awam.”
Ketika ad-Duqqy ditanya tentang perilaku buruk di kalangan para fakir di hadapan Allah dalam, urusan-urusan mereka, dia berkata, “Perilaku buruk itu adalah kejatuhan mereka dari upaya mencari hakikat menjadi upaya mencari ilmu.”

Khayr an-Nassaj menuturkan, “Aku memasuki sebuah masjid dan kulihat ada seorang fakir di situ. Ketika dia melihatku, dipegangnya bajuku sambil memohon, ‘Wahai syeikh, kasihanilah aku, karena penderitaanku sangat besar!’ Aku bertanya, Apa yang kau derita?’ Dia menjawab, Aku telah tidak lagi diberi cobaan, dan selalu dalam keadaan sehat walafiat!’ Aku memandangnya, tiba-tiba la telah dibukakan sedikit dari harta dunia.”

Abu Bakr al-Warraq berkata, “Berbahagialah orang yang miskin di dunia dan di akhirat.” Ketika ditanya apa maksud perkataannya itu, dia menjawab, “Penguasa di dunia ini tidak menuntut pajak darinya, dan Yang Maha Kuasa di akhirat tidak membuat hisab dengannya.”

Kesiapan Menerima Pancaran Anugerah

Datangnya anugerah itu menurut kadar kesiapan jiwa, sedangkan pancaran cahayaNya menurut kadar kebeningan rahasia jiwa.

Anugerah, berupa pahala dan ma’rifat serta yang lainnya, sesungguhnya terga tung kesiapan para hamba Allah. Rasulullah saw, bersabda:

“Allah swt berfirman di hari qiamat (kelak): “Masuklah kalian ke dalam syurga dengan rahmatKu dan saling menerima bagianlah kalian pada syurga itu melalui amal-amalmu.” Lalu Nabi saw, membaca firman Allah Ta’ala “Dan syurga yang kalian mewarisinya adalah dengan apa yang kalian amalkan.” (Az-Zukhruf: 72)

Adapan pancaran cahaya-cahayaNya berupa cahaya yaqin dan iman menurut kadar bersih dan beningnya hati dan rahasia hati. Beningnya rahasia hati diukur menurut kualitas wirid dan dzikir seseorang.

Dalam kitabnya Lathaiful Minan, Ibnu Athaillah as-Sakandary menegaskan, “Ketahuilah bahwa Allah Ta’ala menanamkan cahaya tersembunyi dalam berbagai ragam taat. Siapa yang kehilangan taat satu macam ibadah saja dan terkaburkan dari keselarasan Ilahiyah satu macam saja, maka ia telah kehilangan nur menurut kadarnya masing-masing. Karenanya jangan mengabaikan sedikit pun atas ketaatan kalian. Jangan pula merasa cukup wirid anda, hanya karena anugerah yang tiba. Jangan pula rela pada nafsu anda, sebagaimana diklaim oleh mereka yang merasa dirinya telah meraih hakikat dalam ungkapannya, sedangkan hatinya kosong…”
Jangan keblinger dengan Cahaya atau bentuk Cahaya sebagaimana tergambar dalam pengalaman mengenai Cahaya lahiriyah, baik yang berwarna warni atau satu warna. Cahaya batin sangat berhubungan erat dengan kebeningan batin, tidak ada rupa dan warna yang tercetak. Melainkan pancaran Cahaya keyakinan total kepadaNya.

Perihal pancaran Cahaya ini, beberapa item pernah kita ungkap di edisi 2006, namun masih relevan untuk kita renungkan kembali, dan tertuang dalam kitab Al-Hikam:

  1. “Bagaimana hati bisa cemerlang jika wajah semesta tercetak di hatinya? Bagaimana bisa berjalan menuju Allah sedangkan punggungnya dipenuhi beban syahwat-syahwatnya? Bagaimana berharap memasuki hadhirat Ilahi sedangkan ia belum bersuci dari jinabat kealpaannya? Atau bagaimana ia faham detil rahasia-rahasiaNya, sedangkan ia tidak taubat dari kelengahannya?”
  2. Semesta kemakhlukan adalah awal dari hijab Cahaya, dan ikonnya ada pada nafsu syahwat dan kealpaannya.
  3. “Siapa yang cemerlang di awal penempuhannya akan cemerlang pula di akhir perjalannya.” Kecemerlangan ruhani dengan niat suci bersama Allah dalam awal perjalanan hamba, adalah wujud pantulan Cahaya yang diterima hambaNya, karena yang bersama Allah awalnya akan bersama Allah di akhirnya.
  4. “Orang-orang yang sedang menempuh perjalanan menuju kepada Allah menggunakan petunjuk Cahaya Tawajuh (menghadap Allah) dan orang-orang yang sudah sampai kepada Allah, baginya mendapatkan Cahaya Muwajahah (limpahan Cahaya). Kelompok yang pertama demi meraih Cahaya, sedangkan yang kedua, justru Cahaya-cahaya itu bagiNya. Karena mereka hanya bagi Allah semata, bukan untuk lainNya. Sebagaimana dalam Al-Qur’an, “Katakan, Allah” lalu tinggalkan mereka (selain Allah) terjun dalam permainan.” Itulah hubungan Cahaya dengan para penempuh dan para ‘arifun, begitu jauh berbeda.
  5. “Cahaya adalah medan qalbu dan rahasia qalbu. Cahaya adalah pasukan qalbu, sebagaimana kegelapan adalah pasukan nafsu. Bila Allah hendak menolong hambaNya, maka Allah melimpahkan padanya pasukan-pasukan Cahaya, dan memutus lapisan kegelapan dan tipudaya.”
  6. Wilayah Cahaya adalah qalbu, ruh dan sirr. Cahaya akan memancar sebagai instrument, wujud adalah hakikat yaqin yang memancar melalui instrumen pengetahuan yang dalam tentang Allah.
  7. “Allah mencahayai alam lahiriyah melalui Cahaya-cahaya makhlukNya. Dan Allah mencahayai rahasia batin (sirr) melalui Cahaya-cahaya SifatNya. Karena itulah cahaya semesta lahiriyah bisa sirna, dan Cahaya qalbu dan sirr tidak pernah sirna.”
  8. “Pencerahan Cahaya menurut kebeningan rahasia batin jiwa”.
  9. “Sholat merupakan tempat munajat dan sumber penjernihan dimana medan-medan rahasia batin terbentang, dan di dalamnya Cahaya-cahaya memancarkan pencerahan.” Karena itu cita dan hasrat anda, hendaknya pada penegakan sholat, bukan wujud sholatnya.
  10. “Apabila cahaya yaqin memancar padamu, pasti anda lebih dekat pada akhirat dibanding jarak anda menempuh akhirat itu sendiri. Dan bila anda tahu kebaikan dunia, pasti menampakkan gerhana kefanaan pada dunia itu sendiri.” Maksudnya, nuansa ukhrowi menjadi lapisan baju anda, yang melapisi Nuansa Ilahi. Segalanya terasa dekat tanpa jarak padamu.
  11. “Tempat munculnya Cahaya adalah hati dan rahasia jiwa. Cahaya yang ditanamkan dalam hati adalah limpahan dari Cahaya yang menganugerah dari khazanah rahasia yang tersembunyi. Ada Cahaya yang tersingkapkan melalui makhluk-makhluk semesta, dan ada Cahaya yang tersingkapkan dari Sifat-sifatNya. Terkadang hati berjenak terhenti dengan Cahaya-cahaya, sebagaimana nafsu tertirai oleh alam kasar dunia.” Itulah ragam Cahaya, ada Cahaya muncul dari kemakhlukan ada pula Cahaya SifatNya. Tetapi, jangan sampai Cahaya jadi tujuan, agar tidak terhijabi hati kita dari Sang Pemberi Cahaya, sebagaimana terhijabinya nafsu oleh alam kasar dunia.
  12. “Cahaya-cahaya rahasia jiwa ditutupi oleh Allah melalui wujud kasarnya alam semesta lahiriyah, demi mengagungkan Cahaya itu sendiri, sehingga Cahaya tidak terobralkan dalam wujud popularitas penampakan.” Itulah Cahaya yang melimpahi para ‘arifin, auliya’ dan para sufi, yang dikemas oleh cover tampilan manusia biasa. Sebagaimana Rasulullah saw, disebutkan , “Bukanlah Rasul itu melainkan manusia seperti kalian, makan sebagaimana kalian makan, minum sebagaimana kalian minum.” Ini semua untuk menjaga agar para hamba tidak berambisi popularitas, dan merasa bahwa Cahaya itu muncul karena upayanya.
  13. “Cahaya-cahaya para Sufi mendahului wacananya. Ketika Cahaya muncul maka muncullah wacana” Para Sufi dan arifun berbicara dan berwacana, bukan karena aksioma logika, tetapi karena limpahan Cahaya, baru muncul menjadi mutiara kata. Sementara para Ulama, wacananya mendahului cahayanya.
  14. “Ada Cahaya yang diizinkan untuk terbiaskan, ada pula Cahaya yang diizinkan masuk di dalam jiwa.” Ada Cahaya yang hanya sampai di lapis luar hati, tidak masuk ke dalam hati, sebagaimana orang yang menasehati tentang hakikat tetapi dia sendiri belum sampai ke sana. Ada Cahaya yang menghujam dalam jiwa, dan dada menjadi meluas, dengan ditandainya sikap merasa hampa pada negeri dunia penuh tipudaya, dan menuju negeri keabadian, serta menyiapkan diri menjemput maut.
  15. “Janganlah anda menginginkan agar warid menetap terus menerus setelah Cahaya-cahayanya membias dan rahasia-rahasiaNya tersembunyi.” Itulah perilaku para pemula, biasanya ingin agar Cahaya-cahaya warid itu menetap terus menerus. Padahal suatu kebodohan tersendiri, karena penempuh akan lupa pada Sang Pencahaya.
  16. “Sesungguhnya suasana keistemewaan itu ibarat pancaran matahari di siang hari yang muncul di cakrawala, tetapi Cahaya itu tidak dari cakrawala itu sendiri, dan kadang muncul dari matahari Sifat-sifatNya di malam wujudmu. Dan kadang hal itu tergenggam darimu lalu kembali pada batas-batas dirimu. Siang (Cahaya) bukanlah darimu untukmu. Tetapi limpahan anugerah padamu.”
  17. “Cahaya-cahaya qalbu dan rahasia jiwa tidak diketahui melainkan di dalam keghaiban alam malakut. Sebagaimana Cahaya-cahaya langit tidak akan tampak melainkan dalam alam nyata semesta” Orang yang mampu memasuki alam malakut adalah yang dibukakan Cahaya-cahaya qalbu dan jiwanya. Begitu juga nuansa pencerahan Cahaya qalbu dan rahasia qalbu itu, merupakan rahasia tersembunyi di alam Malakut.
  18. Dan lain sebagainya, yang menggambarkan soal pencahayaan ini. Karena berbagai ragam, bisa memberikan sentuhan Cahaya, apakah Cahaya qalbu, Cahaya ruh dan Cahaya Sirr yang memiliki karakteristik berbeda-beda dalam kondisi ruhani para hamba Allah.