Wahai Saudaraku ....Kemana lagi engkau akan kembali selain kepada Alloh Swt

Wahai para pencari ketenangan sesungguhnya ketenangan sejati ketika engkau bisa mengenal Alloh...Wahai para pencari ke ridhoan sesungguhnya hanya dari kerihoan Alloh saja yang akan menyelamatkan...Wahai para pencari kesenangan sesungguhnya kesenangan sejati hanya dari Alloh saja kelak ...

Senin, 23 Februari 2009

Tasawuf

Dari Yazid bin Abu Ziyad, dari Abu Juhaifah yang menuturkan, "Pada suatu hari Rasulullah saw keluar menemui kami dengan rozman wajah yang berubah, lalu beliau bersabda:

"Kesucian dunia telah lenyap, yang tinggal hanya kekotoran. Hari ini, kematian adalah penghargaan bagi setiap Muslim." (H.r. Daraquthni, namun riwayat dari Jabir).

Kata Sufi telah menjadi sebutan umum bagi kelompok ini. Jadi seseorang dikatakan seorang Sufi dan kelompoknya disebut Sufiyah. Orang yang berusaha menjadi Sufi disebut mutashawwif, dan jamaahnya disebut mutashawwifah.

Tidak ada bukti etimologis ataupun analogis dengan kata lain dalam bahasa Arab yang bisa diturunkan dari sebutan Sufi. Penafsiran yang paling masuk akal adalah bahwa Sufi banyak serupa dengan laqab (gelar).

Ada orang-orang yang mengatakan bahwa kata Sufi diambil dari kata souf (bulu). Jadi, tashawwuf [tasawuf] digunakan dengan artian "memakai kain bulu", sebagaimana kata taqammus digunakan dengan arti "memakai baju" (qamis). Itu hanya satu pandangan saja. Tapi sesungguhnya kaum Sufi tidak mencirikan dirinya dengan memakai pakaian dari bulu.

Ada pendapat mengatakan bahwa kaum Sufi berhubungan dengan serambi (shuffah) masjid Rasulullah saw. Tetapi kata shuffah tidaklah dihubungkan dengan Sufi.

Kelompok lain mengatakan bahwa kata Sufi berasal dari kata shafa’, yang berarti "kemurnian." Pengaitan kata Sufi dari shafa’ tidaklah mungkin ditinjau dari sudut bahasa. Sebagian orang mengatakan bahwa kata Sufi berasal dari shaff, yang berarti barisan, seakan-akan dikatakan hati mereka ada di barisan depan dalam muhadharah di hadapan Allah swt. Ini memang benar dalam arti. Namun kata Sufi tidak bisa menjadi bentuk fa’il dari kata shaf

Kesimpulannya, kelompok ini begitu terkenal sehingga tidaklah perlu mencari analogi atau penurunan akar kata untuk sebutan bagi mereka.

Setiap orang yang berbicara tentang arti tasawuf, selalu bertanya, apa arti tasawuf? Dan siapa yang disebut Sufi? Setiap ungkapan selalu dikaitkan dengan pengalamannya sendiri. Kami akan menyebutkan sebagian ucapan mereka secara sekilas saja:

Ketika Muhammad Al Jurairy ditanya tentang tasawuf, dia menjelaskan, ‘*Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela."

Al Junayd ditanya soal tasawuf, ia menjawab, "Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya."

Al-Husain bin Manshur Al-Hallaj, ketika.ditanya tentang Sufi menjawab, "Kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun yang menerimanya, dan juga tak menerima siapa pun."

Abu Hamzah Al-Baghdady berkata, "Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, dan dia bersembunyi setelah terkenal. Tanda seorang Sufi palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tinggi setelah mengalami kehinaan, dan dia menjadi masyhur setelah tersembunyi."

Amr bin Utsman Al-Makky ditanya tentang tasawuf, "Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik pada saat itu."

Muhammad bin Ali’al-Qashshab mengatakan, "Tasawuf adalah akhlak mulia, dari orang yang mulia, di tengah-tengah kaum yang mulia."

Ketika ditanya tentang tasawuf, Samnun berkata, "Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki oleh apa pun."

Ruwaym ditanya tentang tasawuf, "Tasawuf artinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan apa pun yang dikehendakiNya."

Al Junayd ditanya tentang tasawuf, "Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah swt. tanpa keterikatan apa pun."

Ruwaym bin Ahmad berkata, "Tasawuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan kefakiran; mencapai sifat hakikat dengan memberi, dengan cara mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri; dan meninggalkan sikap menentang dan memilih."

Ma’ruf al-Karkhy menjelaskan, "Tasawuf artinya memihak pada hakikat-hakikat, dan memutuskan harapan dan semua yang ada pada makhluk."

Hamdun al-Qashshar berkata, "Bersahabatlah dengan para Sufi, karena mereka melihat alasan-alasan untuk memaafkan perbuatan-perbuatan yang tak baik, dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baik pun bukan sesuatu yang besar, bahkan mereka bukan menganggapmu besar karena mengerjakannya."

Al-Kharraz menjawab, ketika ditanya tentang ahli tasawuf, "Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami pelapangan, yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Kemudian mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di hatinya, `Ingatlah! Menangislah kalian karena Kami’."

Al Junayd berkata, "Tasawuf adalah perang tanpa kompromi." Dia berkata pula, "Para Sufi adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka." Selanjutnya dia juga menjelaskan lagi, "Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang disertai penyimakan, dan tindakan yang didasari Sunnah."

Al Junayd menyatakan, "Kaum Sufi adalah seperti bumi, selalu semua kotoran dicampakkan kepadanya, namun tidak menumbuhkan kecuali segala tumbuhan yang baik. " Dia juga mengatakan, "Seorang Sufi adalah bagaikan bumi, yang diinjak orang saleh maupun pendosa;

juga seperti mendung, memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu. " Dia melanjutkan, "Jika engkau melihat seorang Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriahnya, maka ketahuilah wujud batinnya rusak."

Sahl bin Abdullah berkata, "Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis."

Ahmad an-Nury berkata, "Tanda seorang Sufi adalah dia merasa rela manakala tidak punya, dan peduli orang lain ketika ada." Muhammad bin Ali al-Kattany menegaskan, "Tasawuf adalah akhlak yang baik. Barangsiapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti la melebihimu dalam tasawuf."

Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary mengatakan, "Tasawuf adalah tinggal di pintu sang kekasih sekalipun engkau diusir." Dia juga mengatakan, "Tasawuf adalah sucinya taqarrub setelah kotornya kejauhan dari-Nya."

Dikatakan, "Orang yang paling kotor adalah seorang Sufi yang amat kikir."

Dikatakan, "Tasawuf adalah tangan yang kosong dan hati yang baik."

Asy-Syibly mengatakan, "Tasawuf adalah duduk bersama Allah swt. tanpa hasrat."

Dikatakan, "Sufi adalah orang yang mengisyaratkan dari Allah swt, sedangkan manusia mengisyaratkan kepada Allah swt." Asy-Syibly mengatakan, "Sufi terpisah dari manusia dan bersambung dengan Allah swt. sebagaimana difirmankan Allah swt. kepada Musa,’Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku’ (Q.s. Thaha: 41), dan memisahkannya dari yang lain. Kemudian Allah swt. berfirman kepadanya, ‘Engkau tidak akan bisa melihat-Ku’." Asy-Syibly juga mengatakan, "Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Tuhan Al-Haq." Katanya, "Tasawuf adalah kilat yang menyala," dan, "Tasawuf terlindung dari memandang makhluk."

Ruwaym berkata, "Para Sufi akan tetap penuh dengan kebaikan selama mereka bertengkar satu dengan yang lain. Tapi segera setelah mereka berdamai, maka tak ada lagi kebaikan pada mereka."

Al Jurairy mengatakan, "Tasawuf berarti kesadaran atas keadaan-keadaan diri sendiri dan berpegang pada adab."

Al-Muzayyin menegaskan, "Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq."

Askar an-Nakhsyaby menyatakan, "Seorang Sufi tidaklah dikotori oleh sesuatu pun, tapi menyucikan segala sesuatu."

Dikatakan, "Pencarian tidaklah meletihkan sang Sufi, dan hal-hal duniawi tidaklah mengganggunya."Ketika Dzun Nuun Al-Mishry ditanya tentang orang-orang Sufi, dia menjawab, "Mereka adalah kaum yang mengutamakan Allah swt. di atas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada."Muhammad al-Wasithy mengatakan, "Mula-mula para Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan, dan sekarang tak ada sesuatu pun yang tinggal selain kesedihan."

An-Nury ditanya tentang Sufi, dan dia menjawab, "Sufi adalah manusia yang menyimak pendengaran dan yang mengutamakan sebab-sebab yang diridhai." Abu Nashr as-Sarraj ath-Thausy berkata, "Aku bertanya kepada All al-Hushry `Siapakah, menurutmu, Sufi itu?’ Dia menjawab, `Yang tidak dibawa bumi dan tidak dinaungi langit.’ Dengan ucapannya, menurut saya, ini Al-Hushry merujuk kepada nuansa keleburan." Dikatakan, "Sufi adalah orang yang manakala disuguhi dua keadaan atau dua akhlak yang baik, dia akan memilih yang lebih baik diantaranya." Asy-Syibly ditanya, "Mengapa para Sufi itu disebut Sufi?" Dia menjawab, "Hal itu karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka." Ahmad Ibnul Jalla’ ditanya, "Apakah yang disebut Sufi?" Dia menjawab, "Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiah, namun kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tak memiliki sarana-sarana duniawi.

Mereka bersama Allah swt. tanpa terikat pada suatu tempat, tetapi Allah swt. tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat. Karenanya disebut Sufi." Abu Ya’qub al-Mazabily menjelaskan, "Tasawuf adalah keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus." Abul Hasan as-Sirwany mengatakan, "Sufi adalah yang bersama ilham, bukan dengan wirid-wirid yang menyertainya."Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, "Yang terbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah, `Inilah Jalan yang tidak cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah swt. untuk menyapu kotoran binatang’."Abu Ali pada suatu hari menyatakan, "Seandainya sang fakir tak punya apa-apa lagi yang tersisa selain ruhnya, dan ruhnya itu ditawarkannya kepada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang akan menaruh perhatian kepadanya." Syeikh Abu Sahl Ash-Sha’luky berkata, "Tasawuf adalah berpaling dari sikap menentang ketetapan Allah swt." Al-Hushry berkomentar, "Sang Sufi tiada setelah ketiadaannya, dan tidak pula tiada setelah keberadaannya."

Ucapan ini tidak mudah dipahami. Kata-kata, "Dia tiada setelah ketiadaannya," berarti bahwa setelah cacat-cacatnya hilang, cacat-cacat itu tidaklah akan kembali. Perkataan, "Tidak pula dia tiada setelah keberadaannya," berarti bahwa dia sibuk bersama Allah swt, tidak akan gugur karena gugurnya makhluk. Seluruh peristiwa dunia tidaklah mempengaruhinya. Dikatakan, "Sang Sufi terhapuskan dalam kilasan yang diterimanya dari Allah." Dikatakan pula, "Sang Sufi terkungkung dalam pelaksanaan Rububiyah dan tertutupi melalui pelaksanaan ubudiyah." Juga dikatakan, "Sufi itu tidak berubah. Tapi seandainya dia berubah, dia tidak akan ternodai." dari sufinews.com

Kefakiran

Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairi
Allah Swt berfirman:
“(Infaq itu) untuk orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena (mereka) memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (Q.s. Al-Baqarah: 273).

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi saw telah bersabda :
“Orang-orang miskin akan memasuki surga limaratus tahun sebelum orang-orang kaya. (Limaratus tahun itu) sama dengan setengah hari (surga).” (H.r. Tirmidzi).

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah saw telah bersabda:
“Orang miskin itu bukanlah dia yang berkeliling ke sana kemari dengan harapan diberi orang sesuap dua suap, sebutir atau dua butir kurma. “ Seseorang bertanya, “Kalau begitu, siapakah orang miskin itu wahai Rasulullah?” Nabi saw menjawab, “Dia adalah orang yang tidak menemukan kepuasan atas kekayaannya, dan malu minta manusia, tidak pula orang banyak mengetahui hal ihwal mereka hingga mereka bisa diberi sedekah.” (H.r. Ahmad).

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar, tentang ucapan Nabi saw, “dan malu meminta,”artinya adalah bahwa mereka malu kepada Allah swt. untuk meminta-minta dari orang banyak, bukan malu kepada manusia.

Kefakiran adalah simbol para wali dan hiasan para Sufi, pilihan Allah swt. pada orang takwa pilihan dan para Nabi. Sedangkan para Sufi fakir merupakan pilihan Allah swt. bagi hamba-hamba-Nya. Mereka adalah pengemban rahasia-rahasia-Nya di antara para hambaNya, yang dengan mereka Dia menjaga para makhluk dan dengan keberkatan mereka rezeki disebarkan di kalangan manusia.

Orang-orang fakir yang sabar akan menjadi sahabat-sahabat Allah swt. pada Hari Kebangkitan, seperti dikatakan dalam hadis riwayat Umar bin Khathab r.a, yang mengatakan bahwa Rasulullah saw telah bersabda, “Segala sesuatu ada kuncinya, dan kunci surga adalah mencintai orang-orang miskin. Kaum fakir yang sabar akan menjadi sahabat-sahabat Allah Swt. pada Hari Kebangkitan.” (H.r. Ibnu Laal, dari Ibnu Umar).

Diceritakan bahwa seorang laki-laki membawa.kan uang sebanyak sepuluh ribu dirham kepada Ibrahim bin Adham, tetapi Ibrahim tidak menerimanya dan berkata, “Engkau mau menghapus namaku dari daftar orang-orang miskin dengan uang sepuluh ribu dirham! Aku tidak akan menerimanya!”
Mu’adz an-Nasafi menegaskan, “Allah tidak pernah membinasakan suatu kaum, apa pun kejahatan yang mereka lakukan, kecuali jika mereka merendahkan dan menghina kaum miskin.

“Dikatakan, manakala para fakir tidak memiliki kebajikan lain dalam pandangan Allah selain keinginan mereka agar rezeki dilimpahkan dan dimurahkan di kalangan kaum Muslimin, niscaya itu sudah cukup bagi mereka, sebab mereka perlu membeli barang-barang dan orang-orang kaya perlu menjualnya. Begitulah halnya dengan kaum miskin yang awam, maka bagaimana pula halnya dengan kaum yang terpilih di kalangan mereka?
Ketika Yahya bin Mu’adz ditanya tentang kefakiran, dia menjawab, “Hakikat kefakiran adalah bahwa seseorang tidak butuh lagi selain Allah, clan tanda kefakiran adalah tidak adanya harta benda.”

Ibrahim al-Qashshar mengatakan, “Kefakiran adalah pakaian yang mewariskan ridha, apabila fakir memakainya.”
Seorang fakir dari Zauzan datang kepada Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq pada tahun 394 atau 395 Hijriyah. Dia memakai pakaian yang terbuat dari kain yang sangat kasar dan kopiah dari kain yang sama. Salah seorang sahabat syeikh itu bertanya dengan nada bergurau, “Berapa harga pakaianmu ini?” Dia menjawab, “Aku membayarnya dengan dunia ini, dan akhirat ditawarkan kepadaku untuk ditukar dengannya. Tapi aku tidak akan menjualnya dengan harta tersebut.”

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan, “Suatu ketika seorang miskin mendatangi sebuah pertemuan untuk meminta sedekah, seraya berkata, ‘Saya sudah tiga hari tidak makan.’ Salah seorang syeikh yang hadir di situ berkata, ‘Engkau dusta! Kemiskinan adalah rahasia Tuhan. Dia tidak mempercayakan rahasia-Nya kepada orang yang memamerkannya kepada siapa pun yang dikehendakinya’!”

Hamdun al-Qashshar menyatakan, “Manakala iblis dan tentaranya berkumpul, mereka tidak bergembira sebagaimana kegembiraan mereka yang disebabkan tiga hal: seorang Muslim membunuh sesama Muslim, seseorang yang mati dalam keadaan kafir, dan sebuah hati yang menyimpan ketakutan pada kemiskinan.”

Al Junayd berkata, “Wahai orang-orang fakir, kamu semua dijadikan terkenal oleh Allah swt. dan dihormati karena-Nya. Tetapi perhatikanlah bagaimana keadaanmu manakala kamu berada sendirian bersama-Nya.” Al-Junayd ditanya, “Keadaan manakah yang lebih baik: miskin dan bergantung pada Tuhan, ataukah dijadikan kaya oleh-Nya?” Dia menjauvab, “Jika kemiskinan seseorang adalah shahih, maka kekayaannya adalah shahih di sisi-Nya. Jika kekayaannya di sisi-Nya adalah shahih, maka kemiskinan dan ketergantungannya pada-Nya juga tersempurnakan. Janganlah bertanya, ‘Manakah yang lebih baik?’ sebab keduanya. adalah keadaan yang salah satunya tidak akan lengkap tanpa yang lain.”

Ruwaym ditanya tentang tanda seorang miskin, “Miskin berarti menyerahkan jiwa kepada ketentuan-ketentuan Allah swt.” Dikatakan pula bahwa ada tiga tanda seorang miskin: dia melindungi batinnya, dia melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya,dia menyembunyikan kemiskinannya.

Seseorang bertanya kepada Abu Sa’id al-Kharraz, “Mengapa kemurahan hati orang kaya tidak sampai kepada orang miskin?” Dia menjawab, “Karena tiga alasan: kekayaan mereka didapatkan dengan jalan yang tidak halal, mereka tidak dimampukan untuk memberi sedekah, dan penderitaan orang miskin itu memang dikehendaki. ” Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Musa as, “Jika engkau berjumpa dengan orang-orang miskin, tanyakanlah tentang mereka seperti engkau tanyakan kepada orang-orang kaya. Jika hal itu tidak engkau lakukan, maka campakkanlah ke tanah semua yang telah Ku ajarkan kepadamu.”

Diriwayatkan bahwa Abu Darda’ menegaskan, “Aku lebih suka jatuh dari tembok istana dan remuk daripada duduk bersama orang kaya, karena aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
‘Waspadalah untuk duduk-duduk bersama orang mati!’ Seseorang bertanya, ‘Siapa orang mati itu?’ Beliau menjawab, ‘Orang-orang kaya.’ (H.r. Tirmidzi dan Hakim).”2’

Seseorang berkata kepada ar-Rabi’ bin Khaitsam, “Harga-harga telah naik!” Dia menjawab, “Kita tidak berharga untuk dibuat lapar oleh Allah. Dia hanya melakukan hal itu pada wali-wali-Nya.”

‘Dalam riwayat -Tirmidzi (kata aghniya’ sebagai ganti kata mauta) dalam bab al-Libas. Dan beliau menganggapnya hadis dha’if. Namun menurut al-Hakim, hadis tersebut shahih.
Ibrahim bin Adham mengatakan, “Kami meminta kemiskinan tapi diberi kekayaan; orang lain meminta kekayaan tapi kemiskinan datang kepada mereka.”

Seorang laki-laki bertanya kepada Yahya bin Mu’adz, “Apakah kemiskinan itu?” Dia berkata, “Takut pada kemiskinan itu sendiri.” Orang itu bertanya lagi, “Lantas, apa kekayaan itu?” Dia menjawab, “Rasa aman di sisi Allah swt.”

Ibnul Kurainy berkata, “Orang miskin yang sejati menjauhi kekayaan agar kekayaan tidak mendatanginya dan merusak kemiskinannya, sebagaimana halnya orang kaya menjauhi kemiskinan agar kemiskinan tidak mendatanginya dan merusak kekayaannya.”
Abu Hafs ditanya, “Dengan cara apa orang miskin mendekati Allah swt.?” Dia menjawab, “Orang miskin tidak memiliki apa-apa selain kemiskinannya yang dengan kemiskinan itu dia mendekati Allah swt.”

Allah swt. mewahyukan kepada Musa as, “Maukah engkau memperoleh pahala amal kebajikan yang setara dengan pahala seluruh ummat manusia di Hari Kiamat nanti?” Musa menjawab, “Ya.”Allah swt. berfirman, “Kunjungilah orang sakit dan pastikanlah bahwa orang-orang miskin punya pakaian.”Musa lalu menyisihkan tujuh hari setiap bulan untuk mengunjungi orang-orang miskin dan memeriksa pakaian mereka serta mengunjungi orang sakit.

Sahl bin Abdullah menyatakan, “Ada lima mutiara jiwa: seorang miskin yang berpura-pura kaya, seorang lapar yang berpura-pura kenyang, seorangyang bersedih yang berpura-pura bahagia, seseorang yang punya musuh tapi memperlihatkan kecintaan terhadapnya, seseorangyang berpuasa di siang hari dan bangun di malam hari tanpa memperlihatkan. kelelahan.”,

Bisyr ibnul Harits berkata, “Maqam yang paling baik adalah maqam keyakinan yang kokoh dalam kesabaran melalui kemiskinan sampai masuk liang lahat.”
Dzun Nuun mengatakan, “Satu tanda kemurkaan Allah kepada seorang hamba adalah bahwa si hamba merasa takut kepada kemiskinan.”

Asy-Syibly berkomentar, “Tanda kemiskinan yang paling kecil adalah jika seluruh kekayaan dunia ini diberikan kepada seseorang dan kemudian disedekahkannya sampai habis dalam waktu satu hari, tetapi kemudian terlintas dalam pikirannya untuk menyimpan hartanya bagi esok harinya. Yang demikan itu tidak bisa dianggap benar dalam kemiskinannya.”

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Orang bertanya mana yang lebih baik: kemiskinan ataukah kekayaan. Menurut pendapatku, yang paling balk adalah bahwa seseorang diberi rezeki yang cukup untuk menghidupinya dan dia lalu menjaga dirinya dalam batas tersebut.”

Ibnul Jalla’ ditanya tentang kemiskinan. Dia diam saja, kemudian mengundurkan diri dan pergi. Sesaat kemudian dia kembali dan berkata, “Aku punya empat keping mata uang itu. Aku malu kepada Allah swt. untuk membicarakan kemiskinan.” Kata Ibnul Jalla’, “Kemudian aku pergi dan mengeluarkan uang itu. Barulah aku berbicara tentang kemiskinan.”

Ibrahim ibnul Muwallad berkata, “Aku bertanya kepada Ibnul Jalla’, ‘Kapankah orang-orang miskin patut disebut miskin? Dia menj awab, ‘Jika tak ada lagi sesuatu pun darinya yang tersisa padanya.’ Ibrahim bertanya, ‘Bagaimana bisa begitu?’ Dia menjawab, ‘Jika dia memilikinya, berarti dia tidak memiliki kemiskinan. Tapi jika dia tak lagi memilikinya, berarti dia memiliki sebutan kemiskinan itu’.”

Dikatakan bahwa keadaan miskin yang benar adalah jika si miskin tidak merasa puas dengan aspek mana pun dari kemiskinannya selain dengan Dia yang dibutuhkannya.

Abdullah ibnul Mubarak menyatakan, “Membuat diri sendiri tampak kaya sedangkan la dalam keadaan miskin, adalah lebih baik daripada kemiskinan.”

Banan al-Mishry menuturkan, “Suatu ketika aku sedang duduk-duduk di Mekkah, dan seorang pemuda berada di depanku. Seorang laki-laki datang kepadanya dengan membawa sebuah pundi-pundi berisi uang dan meletakkannya di hadapan pemuda itu. Pemuda itu berkata, ‘Aku tak membutuhkannya.’ Orang itu berkata, ‘Kalau begitu, bagi-bagikanlah kepada orang-orang miskin.’ Petang harinya kulihat pemuda itu ada di lembah sedang mengemis. Aku bertanya, Alangkah baiknya jika engkau menyimpan sedikit dari uang tadi untuk dirimu sendiri.’ Dia menjawab, ‘Siapa yang tahu kalau aku masih akan terus hidup sampai petang ini’?”

Abu Hafs berkata, “Cara yang paling baik bagi seorang hamba untuk menemui Tuhannya adalah dengan terus-menerus fakir kepada-Nya dalam setiap keadaan, mematuhi Sunnah dalam semua amal perbuatan, dan mencari rezeki dengan jalan yang halal.”

Al-Murta’isy berkomentar, “Yang paling baik adalah bahwa cita-cita orang miskin itu tidak melampaui langkah-langkahnya.” Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary menuturkan, “Ada empat orang yang merupakan model manusia pada masa mereka. Yang pertama, yaitu Yusuf bin Asbat, tidak mau menerima pemberian apa -pun dari saudara-saudaranya ataupun dari penguasa. Dia mewarisi uang sebanyak tujuh puluh ribu dirham dari saudara laki-lakinya tapi dia tak mau menerima satu sen pun darinya. la hidup dengan menjual daun kurma. Yang kedua, Abu Ishaq al-Fazzary, mau menerima pemberian dari saudara-saudaranya ataupun dari penguasa. Pemberian itu dihabiskannya untuk kebutuhan orang-orang miskin yang kemiskinannya tersembunyi dan yang tidak meminta-minta sedekah. Adapun pemberian dari penguasa, maka itu diberikannya kepada orang-orang yang patut menerimanya di kalangan warga Tarsus. Yang ketiga,Abdullah bin Mubarak, mau menerima pemberian dari saudara-saudaranya, lalu dibagi-bagikannya kepada orang lain secara adil, tetapi ia tidak mau menerima dari penguasa. Yang keempat, Makhlad bin al-Hussian, mau menerima pemberian dari penguasa, tapi tidak dari saudara-saudaranya. Dia mengatakan, ‘Penguasa tidak menganggap ada orang yang wajib untuk diberi, sedangkan saudara-saudara menganggap ada’.”

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq - semoga Allah swt. merahmati - berkata, “Ada sebuah hadis yang mengatakan, ‘Orang yang merendahkan diri di hadapan orang kaya dikarenakan kekayaannya, berarti dia telah kehilangan dua pertiga agamanya.’ Ini disebabkan karena seorang manusia terdiri dari hati, lidah dan nafsu. Jika dia merendahkan diri dengan nafsu dan lidahnya, maka dia kehilangan dua pertiga agamanya. Tetapi jika dia merendahkan diri di hadapan orang kaya itu dengan hatinya juga, maka dia kehilangan seluruh agamanya.”

Dikatakan, “Seorang miskin dalam menjalani kemiskinannya dituntut paling tidak agar dia memiliki empat hal: ilmu yang akan menjadi pertimbangannya, sikap zuhud yang akan mengendalikan dirinya, keyakinan yang akan menguatkan imannya, dan dzikir yang akan membawakan kegembiraan jiwanya.”
Dikatakan juga, “Orang yang menginginkan kemiskinan untuk kemuliaannya, ia mati dalam keadaan fakir. Barangsiapa ingin miskin agar tidak disibukkan dengan selain Allah, akan mati dalam keadaan kaya.”

Al-Muzayyin menyatakan, “Berbagai jalan kepada Allah swt. lebih banyak daripada bintang di langit. Tetapi sekarang tak satu pun diantaranya yang tersisa selain kemiskinan, dan kemiskinan adalah jalan yang terbaik di antara jalan jalan itu.”
Ketika ditanya tentang hakikat kemiskinan, asy-Syibly menjawab, “Hakikat kemiskinan adalah bahwa si hamba tidak merasa puas selain Allah swt.”

Manshur bin Khalaf al-Maghriby menuturkan, “Abu Sah1 al-Khasysyab al-Kabir mengatakan kepadaku, ‘Kemiskinan adalah kemiskinan dan kehinaan.’ Aku menjawab, ‘Bukan, justru katakan, ‘Kemiskinan adalah kemiskinan dan kemuliaan.’ Dia balik berkata, ‘Kemiskinan dan lumpur.’ Aku membalas, ‘Bukan, kemiskinan dan tahta Ilahi’.”
Syeikh Abu All ad-Daqqaq berkomentar tentang hadis Nabi saw.:
“Hampi-hampir kefakiran itu menjadi kekufuran.” (H.r. Abu Nu’aim dan Thabrani).

Maka Syeikh mengatakan, “Bahaya yang bisa timbul dari sesuatu adalah berbanding terbalik dengan manfaat dan kebajikan yang terkandung di dalamnya. Apa pun yang sangat bermanfaat dalam dirinya sendiri, mengandung bahaya yang paling besar pada sisi lainnya. Begitulah halnya dengan iman. Karena ia adalah sifat yang paling baik, maka kebalikannya adalah kekafiran. Karena bahaya yang terkandung dalam kemiskinan adalah bahwa ia bisa menjadi kufur kepada Allah swt, menunjukkan bahwa kemiskinan adalah sifat yang paling mulia.”

Al Junayd mengajarkan, “Jika engkau bertemu dengan seorang miskin, hadapilah dia dengan budimu, bukan dengan ilmumu. Kebaikan budi akan mendekatkannya, sedang ilmu akan menakutkannya.” Saya bertanya, “Wahai Abul Qasim, apakah ilmu benar-benar menjauhkan orang miskin?” Dia menjawab, “Ya. Jika si orang miskin bersikap benar dalam kemiskinannya, dan engkau mencurahkan ilmumu kepadanya, maka ilmumu itu akan meleleh seperti melelehnya timah kena api’.”

Mudzaff’ar al-Qurmisainy berkata, “Orang miskin adalah orang yang tak membutuhkan suatu kebutuhan dirinya kepada Allah swt.” Ucapan ini mempunyai makna yang samar-samar jika dipahami oleh orang yang tak memahami tujuan sang Sufi. Ucapan ini semata-mata menunjukkan dihentikannya mengajukan tuntutan, berakhirnya pilihan, dan ridha terhadap apa pun yang ditakdirkan Allah swt.”

Abdullah bin Khafif mengatakan, “Kemiskinan berarti tidak memiliki harta benda dan meninggalkan aturan-aturan manusiawi.” Abu Hafs berkata, “Kemiskinan tidaklah sempurna bagi siapa pun sampai dia lebih mengutamakan memberi daripada menerima. Kemurahan hati bukanlah orang yang berpunya memberi kepada yang tidak punya, melainkan orang yang tidak berpunya memberi kepada orang yang punya.”

Ibnul Jalla’ menegaskan, “Seandainya tidak karena adanya tujuan lebih agung dalam tawadhu’, niscaya akan menjadi cara orang miskin untuk berjalan dengan sikap penuh kebanggaan.”
Yusuf bin Asbat berkata, “Selama empat puluh tahun aku hanya memiliki dua lembar baju.”
Salah seorang Sufi menuturkan, ‘Aku melihat seolah-olah Hari Kiamat sudah tiba. Sebuah suara mengatakan, ‘Bawalah Malik bin Dinar dan Muhammad bin Wasi’ ke dalam surga.’

Maka aku perhatikan siapa di antara keduanya yang lebih dahulu masuk, dan ternyata orang itu adalah Muhammad bin Wasi’. Ketika aku bertanya mengapa dia didahulukan, dijelaskan kepadaku, ‘Dia hanya memiliki selembar baju, sedangkan Malik dua’.”

Muhammad al-Masuhy berkata, “Orang miskin adalah orang yang tidak membutuhkan terhadap sesuatu pun bagi dirinya dari harta benda duniawi.”

Sahl bin Abdullah ditanya, “Kapankah orang miskin bisa beristirahat?” Dia menjawab, “Jika dia tidak mengharapkan apa pun bagi dirinya sendiri selain dari saat kekiniannya.”

Di hadapan Yahya bin Mu’adz, orang-orang Sufi berdiskusi soal kefakiran dan kekayaan, dia berkata, “Bukanlah kemiskinan atau kekayaan yang memiliki bobot di Hari Perhitungan. Hanya kesabaran dan syukurlah yang akan ditimbang. Jadi kelak akan dikatakan, ‘Orang ini bersyukur, atau orang ini bersabar’.”
Dikatakan, “Allah swt. mewahyukan kepada sebagian para Nabi-Nya, ‘Jika kamu ingin mengetahui ridha-Ku padamu, maka lihatlah bagaimana ridhanya si fakir kepadamu’.”

Abu Bakr bin Nashr az-Zaqqaq berkata, “Orang yang tidak punya rasa takut kepada Allah swt. bersama dengan kemiskinannya berarti seluruh makanan yang dikonsumsinya benar-benar makanan haram.”

Dikatakan bahwa orang-orang miskin di pengajian-pengajian Sufyan ats-Tsaury adalah laksana para pangeran. Abu Bakr bin Thahir menyatakan, “Di antara aturan-aturan orang miskin adalah bahwa dia tidak punya keinginan, kalaupun dia berkeinginan juga, jangan sampai keinginannya melebihi kebutuhannya.”
Ibnu Atha’ membacakan syair untuk para Sufi:
Mereka berkata, esok adalah hari raya.
Apa yang akan kau pakai? Kukatakan,
Jubah kehormatan yang diberi-Nya
yang mencurahkan cinta dengan penuh kemurahan hati. Kemiskinan dan kesabaran,
adalah pakaianku yang di bawahnya ada satu hati bagi kekasihnya, yaitu hari Jum’at dan hari Raya.

Pakaian yang paling layak untuk menemui Kekasih pada hari ziarah adalah pakaian yang dicintai-Nya.
Tahun-tahun penuh berkabung bagiku
jika Kau tak ada, wahai Harapanku,
Hari Raya adalah hari ketika
aku melihat dan mendengar suara-Mu.
Ketika ditanya tentang orang miskin sejati, Abu Bakr al-Mishry menjawab, “Dia adalah orang yang tidak memiliki sesuatu dan tidak pula berkeinginan memiliki sesuatu.”

Dzun Nuun al-Mishry berkata, “Aku lebih menyukai rasa fakir kepada Allah swt. secara langgeng, dibanding memasuki dunia Sufi dengan penuh takjub.”

Abu Abdullah al-Hushry menuturkan, “Abu Ja’far al-Haddad bekerja selama dua puluh tahun, dengan penghasilan satu dinar setiap hari. Uang itu dibelanjakannya untuk orang-orang miskin sementara dia sendiri berpuasa; setelah itu dia akan berkeliling mencari sedekah setelah shalat maghrib untuk berbuka puasa.”
An-Nury menyatakan, “Tanda seorang miskin adalah kerelaan manakala dia tidak punya apa-apa dan memberi dengan murah hati manakala dia punya banyak rezeki.”

Muhammad bin All al-Kattany berkata, “Ada seorang pemuda bersama kami; di Mekkah yang memakai pakaian kum’al dan bertambal-tambal. Dia tidak pernah ikut serta dalam percakapan kami ataupun duduk bersama kami. Dalam hati aku sangat merasa sayang kepadanya. Suatu ketika aku diberi uang dua ratus dirham dari sumber yang halal. Uang itu kubawa kepadanya, ‘Uang ini telah datang kepadaku dari sumber yang halal.

Belanjakanlah untuk keperluanmu.’ Seraya memandang kepadaku dengan sikap merendahkan, dia mengungkapkan apa yang selama itu tidak kuketahui, ‘Saya membeli kesempatan untuk bisa duduk bersama Allah swt. dalam pengabdian yang leluasa ini dengan harga tujuhpuluh ribu dinar dari harta benda dan kebun-kebun saya. Sekarang Anda hendak menyesatkan saya dari keadaan saya sekarang ini dengan uang itu ke tanah.’ Ia lalu berdiri dan menolaknya. Aku duduk dan mengumpulkan uang itu dari tanah. Belum pernah aku menyaksikan kegagahan seperti kegagahan pemuda itu ketika dia berjalan pergi, ataupun kehinaan seperti kehinaanku ketika aku mengumpulkan uang itu.”

Abu Abdullah bin Khafif mengatakan, “Aku belum pernah diwajibkan membayar zakat fitrah pada akhir bulan Ramadhan selama empat puluh tahun, sementara aku diterima dengan penuh penghormatan di kalangan kaum terpilih maupun kaum awam.”
Ketika ad-Duqqy ditanya tentang perilaku buruk di kalangan para fakir di hadapan Allah dalam, urusan-urusan mereka, dia berkata, “Perilaku buruk itu adalah kejatuhan mereka dari upaya mencari hakikat menjadi upaya mencari ilmu.”

Khayr an-Nassaj menuturkan, “Aku memasuki sebuah masjid dan kulihat ada seorang fakir di situ. Ketika dia melihatku, dipegangnya bajuku sambil memohon, ‘Wahai syeikh, kasihanilah aku, karena penderitaanku sangat besar!’ Aku bertanya, Apa yang kau derita?’ Dia menjawab, Aku telah tidak lagi diberi cobaan, dan selalu dalam keadaan sehat walafiat!’ Aku memandangnya, tiba-tiba la telah dibukakan sedikit dari harta dunia.”

Abu Bakr al-Warraq berkata, “Berbahagialah orang yang miskin di dunia dan di akhirat.” Ketika ditanya apa maksud perkataannya itu, dia menjawab, “Penguasa di dunia ini tidak menuntut pajak darinya, dan Yang Maha Kuasa di akhirat tidak membuat hisab dengannya.”

Kesiapan Menerima Pancaran Anugerah

Datangnya anugerah itu menurut kadar kesiapan jiwa, sedangkan pancaran cahayaNya menurut kadar kebeningan rahasia jiwa.

Anugerah, berupa pahala dan ma’rifat serta yang lainnya, sesungguhnya terga tung kesiapan para hamba Allah. Rasulullah saw, bersabda:

“Allah swt berfirman di hari qiamat (kelak): “Masuklah kalian ke dalam syurga dengan rahmatKu dan saling menerima bagianlah kalian pada syurga itu melalui amal-amalmu.” Lalu Nabi saw, membaca firman Allah Ta’ala “Dan syurga yang kalian mewarisinya adalah dengan apa yang kalian amalkan.” (Az-Zukhruf: 72)

Adapan pancaran cahaya-cahayaNya berupa cahaya yaqin dan iman menurut kadar bersih dan beningnya hati dan rahasia hati. Beningnya rahasia hati diukur menurut kualitas wirid dan dzikir seseorang.

Dalam kitabnya Lathaiful Minan, Ibnu Athaillah as-Sakandary menegaskan, “Ketahuilah bahwa Allah Ta’ala menanamkan cahaya tersembunyi dalam berbagai ragam taat. Siapa yang kehilangan taat satu macam ibadah saja dan terkaburkan dari keselarasan Ilahiyah satu macam saja, maka ia telah kehilangan nur menurut kadarnya masing-masing. Karenanya jangan mengabaikan sedikit pun atas ketaatan kalian. Jangan pula merasa cukup wirid anda, hanya karena anugerah yang tiba. Jangan pula rela pada nafsu anda, sebagaimana diklaim oleh mereka yang merasa dirinya telah meraih hakikat dalam ungkapannya, sedangkan hatinya kosong…”
Jangan keblinger dengan Cahaya atau bentuk Cahaya sebagaimana tergambar dalam pengalaman mengenai Cahaya lahiriyah, baik yang berwarna warni atau satu warna. Cahaya batin sangat berhubungan erat dengan kebeningan batin, tidak ada rupa dan warna yang tercetak. Melainkan pancaran Cahaya keyakinan total kepadaNya.

Perihal pancaran Cahaya ini, beberapa item pernah kita ungkap di edisi 2006, namun masih relevan untuk kita renungkan kembali, dan tertuang dalam kitab Al-Hikam:

  1. “Bagaimana hati bisa cemerlang jika wajah semesta tercetak di hatinya? Bagaimana bisa berjalan menuju Allah sedangkan punggungnya dipenuhi beban syahwat-syahwatnya? Bagaimana berharap memasuki hadhirat Ilahi sedangkan ia belum bersuci dari jinabat kealpaannya? Atau bagaimana ia faham detil rahasia-rahasiaNya, sedangkan ia tidak taubat dari kelengahannya?”
  2. Semesta kemakhlukan adalah awal dari hijab Cahaya, dan ikonnya ada pada nafsu syahwat dan kealpaannya.
  3. “Siapa yang cemerlang di awal penempuhannya akan cemerlang pula di akhir perjalannya.” Kecemerlangan ruhani dengan niat suci bersama Allah dalam awal perjalanan hamba, adalah wujud pantulan Cahaya yang diterima hambaNya, karena yang bersama Allah awalnya akan bersama Allah di akhirnya.
  4. “Orang-orang yang sedang menempuh perjalanan menuju kepada Allah menggunakan petunjuk Cahaya Tawajuh (menghadap Allah) dan orang-orang yang sudah sampai kepada Allah, baginya mendapatkan Cahaya Muwajahah (limpahan Cahaya). Kelompok yang pertama demi meraih Cahaya, sedangkan yang kedua, justru Cahaya-cahaya itu bagiNya. Karena mereka hanya bagi Allah semata, bukan untuk lainNya. Sebagaimana dalam Al-Qur’an, “Katakan, Allah” lalu tinggalkan mereka (selain Allah) terjun dalam permainan.” Itulah hubungan Cahaya dengan para penempuh dan para ‘arifun, begitu jauh berbeda.
  5. “Cahaya adalah medan qalbu dan rahasia qalbu. Cahaya adalah pasukan qalbu, sebagaimana kegelapan adalah pasukan nafsu. Bila Allah hendak menolong hambaNya, maka Allah melimpahkan padanya pasukan-pasukan Cahaya, dan memutus lapisan kegelapan dan tipudaya.”
  6. Wilayah Cahaya adalah qalbu, ruh dan sirr. Cahaya akan memancar sebagai instrument, wujud adalah hakikat yaqin yang memancar melalui instrumen pengetahuan yang dalam tentang Allah.
  7. “Allah mencahayai alam lahiriyah melalui Cahaya-cahaya makhlukNya. Dan Allah mencahayai rahasia batin (sirr) melalui Cahaya-cahaya SifatNya. Karena itulah cahaya semesta lahiriyah bisa sirna, dan Cahaya qalbu dan sirr tidak pernah sirna.”
  8. “Pencerahan Cahaya menurut kebeningan rahasia batin jiwa”.
  9. “Sholat merupakan tempat munajat dan sumber penjernihan dimana medan-medan rahasia batin terbentang, dan di dalamnya Cahaya-cahaya memancarkan pencerahan.” Karena itu cita dan hasrat anda, hendaknya pada penegakan sholat, bukan wujud sholatnya.
  10. “Apabila cahaya yaqin memancar padamu, pasti anda lebih dekat pada akhirat dibanding jarak anda menempuh akhirat itu sendiri. Dan bila anda tahu kebaikan dunia, pasti menampakkan gerhana kefanaan pada dunia itu sendiri.” Maksudnya, nuansa ukhrowi menjadi lapisan baju anda, yang melapisi Nuansa Ilahi. Segalanya terasa dekat tanpa jarak padamu.
  11. “Tempat munculnya Cahaya adalah hati dan rahasia jiwa. Cahaya yang ditanamkan dalam hati adalah limpahan dari Cahaya yang menganugerah dari khazanah rahasia yang tersembunyi. Ada Cahaya yang tersingkapkan melalui makhluk-makhluk semesta, dan ada Cahaya yang tersingkapkan dari Sifat-sifatNya. Terkadang hati berjenak terhenti dengan Cahaya-cahaya, sebagaimana nafsu tertirai oleh alam kasar dunia.” Itulah ragam Cahaya, ada Cahaya muncul dari kemakhlukan ada pula Cahaya SifatNya. Tetapi, jangan sampai Cahaya jadi tujuan, agar tidak terhijabi hati kita dari Sang Pemberi Cahaya, sebagaimana terhijabinya nafsu oleh alam kasar dunia.
  12. “Cahaya-cahaya rahasia jiwa ditutupi oleh Allah melalui wujud kasarnya alam semesta lahiriyah, demi mengagungkan Cahaya itu sendiri, sehingga Cahaya tidak terobralkan dalam wujud popularitas penampakan.” Itulah Cahaya yang melimpahi para ‘arifin, auliya’ dan para sufi, yang dikemas oleh cover tampilan manusia biasa. Sebagaimana Rasulullah saw, disebutkan , “Bukanlah Rasul itu melainkan manusia seperti kalian, makan sebagaimana kalian makan, minum sebagaimana kalian minum.” Ini semua untuk menjaga agar para hamba tidak berambisi popularitas, dan merasa bahwa Cahaya itu muncul karena upayanya.
  13. “Cahaya-cahaya para Sufi mendahului wacananya. Ketika Cahaya muncul maka muncullah wacana” Para Sufi dan arifun berbicara dan berwacana, bukan karena aksioma logika, tetapi karena limpahan Cahaya, baru muncul menjadi mutiara kata. Sementara para Ulama, wacananya mendahului cahayanya.
  14. “Ada Cahaya yang diizinkan untuk terbiaskan, ada pula Cahaya yang diizinkan masuk di dalam jiwa.” Ada Cahaya yang hanya sampai di lapis luar hati, tidak masuk ke dalam hati, sebagaimana orang yang menasehati tentang hakikat tetapi dia sendiri belum sampai ke sana. Ada Cahaya yang menghujam dalam jiwa, dan dada menjadi meluas, dengan ditandainya sikap merasa hampa pada negeri dunia penuh tipudaya, dan menuju negeri keabadian, serta menyiapkan diri menjemput maut.
  15. “Janganlah anda menginginkan agar warid menetap terus menerus setelah Cahaya-cahayanya membias dan rahasia-rahasiaNya tersembunyi.” Itulah perilaku para pemula, biasanya ingin agar Cahaya-cahaya warid itu menetap terus menerus. Padahal suatu kebodohan tersendiri, karena penempuh akan lupa pada Sang Pencahaya.
  16. “Sesungguhnya suasana keistemewaan itu ibarat pancaran matahari di siang hari yang muncul di cakrawala, tetapi Cahaya itu tidak dari cakrawala itu sendiri, dan kadang muncul dari matahari Sifat-sifatNya di malam wujudmu. Dan kadang hal itu tergenggam darimu lalu kembali pada batas-batas dirimu. Siang (Cahaya) bukanlah darimu untukmu. Tetapi limpahan anugerah padamu.”
  17. “Cahaya-cahaya qalbu dan rahasia jiwa tidak diketahui melainkan di dalam keghaiban alam malakut. Sebagaimana Cahaya-cahaya langit tidak akan tampak melainkan dalam alam nyata semesta” Orang yang mampu memasuki alam malakut adalah yang dibukakan Cahaya-cahaya qalbu dan jiwanya. Begitu juga nuansa pencerahan Cahaya qalbu dan rahasia qalbu itu, merupakan rahasia tersembunyi di alam Malakut.
  18. Dan lain sebagainya, yang menggambarkan soal pencahayaan ini. Karena berbagai ragam, bisa memberikan sentuhan Cahaya, apakah Cahaya qalbu, Cahaya ruh dan Cahaya Sirr yang memiliki karakteristik berbeda-beda dalam kondisi ruhani para hamba Allah.

Perbedaan antara Ilmu dan Ma'rifat

Imam Al-Ghazali
Ma’rifat adalah maqam kedekatan (qurb) itu sendiri yakni maqam yang memiliki daya tarik dan yang memberi pengaruh pada kalbu, yang lantas berpengaruh pada seluruh aktivitas jasmani (jawarih). `Ilm (ilmu) tentang sesuatu adalah seperti “melihat api” sebagai contoh, sedangkan ma`rifat adalah “menghangatkan diri dengan api”.

Menurut bahasa, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Adapun menurut istilah yang sering dipakai menunjukkan ilmu pengetahuan tentang apa saja (nakirah). Menurut istilah Sufi, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan, apabila yang berkaitan dengan objek pengetahuan itu adalah Dzat Allah swt. dan Sifat-sifat-Nya. Jika ditanya, `Apa yang disebut ma`rifat Dzat dan apa pula ma’rifat Sifat?” Maka dijawab bahwa ma’rifat Dzat adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah swt. adalah Wujud Yang Esa, Tunggal, Dzat dan “sesuatu” Yang Mahaagung, Mandiri dengan Sendiri-Nya dan tidak satu pun yang menyerupai-Nya.

Sedangkan ma’rifat Sifat adalah mengetahui sesungguhnya Allah swt. Mahahidup, Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan seluruh Sifat-sifat Keparipurnaan lainnya.
Kalau ditanya, `Apa rahasia ma`ri fat?” Rahasia dan ruhnya adalah tauhid. Yaitu, jika anda telah menyucikan sifat-sifat Mahahidup, Ilm (Ilmu), Qudrah, Iradah, Sama ; Bashar dan Kalam Allah dari segala keserupaan dengan sifat-sifat makhluk [dengan penegasan bahwa tiada satu pun yang menyamai-Nya].

Lalu, apa tanda-tanda ma`rifat? Tanda-tandanya adalah hidupnya kalbu bersama Allah swt. Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Dawud a.s., “Mengertikah engkau, apakah ma’rifat-Ku itu?” Dawud menjawab, “Tldak.”Allah berfirman, “Hidupnya kalbu dalam musyahadah kepada-Ku. “

Kalau ditanya, “Tahap atau maqam manakah yang dapat disahkan sebagai ma `rifat yang hakiki?” [Jawabnya] adalah tahap musyahadah (penyaksian) dan ru’yat (melihat) dengan sirr qalbu. Hamba melihat untuk mencapai ma’rifat. Karena ma’rifat yang hakiki ada dalam dimensi batin pada iradah, kemudian Allah swt. menghilangkan sebagian tirai (hijab), lantas kepada mereka diperlihatkan nur Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya dari balik hijab itu agar mereka sampai pada ma’rifat kepada Allah swt. Hijab itu tidak dibukakan seluruhnya, agar yang melihat-Nya tidak terbakar.
Sang Sufi bersyair dengan ungkapan pencapaian pada tahap spiritual tertentu :
Seandainya Aku tampak tanpa hijab
Pastilah seluruh makhluk sempurna

Namun hijab itu amat halus
Agar merevitalisasi kalbu para hamba yang `asyiq.
Ketahuilah, bahwa manifestasi (tajalli) keagungan melahirkan rasa takut (khauf) dan keterpesonaan (haibah). Sedangkan manifestasi keelokan (al-Hasan) dan Keindahan (al-Jamal) melahirkan keasyikan. Sementara manifestasi Sifat-sifat Allah melahirkan mahabbah. Dan manifestasi Dzat meniscayakan lahirnya penegasan keesaan (tauhid).

Sebagian ahli ma’rifat berkata, “Demi Allah, tidak seorang pun yang mencari dunia, selain orang itu dibutakan kalbunya oleh Allah, dan dibatalkan amalnya. Sesungguhnya Allah menciptakan dunia sebagai kegelapan, dan menjadikan matahari sebagai cahaya. Allah menjadikan kalbu juga gelap, lalu dijadikan ma’rifat sebagai cahayanya. Apabila awan telah tiba, cahaya matahari akan terhalang. Begitupun ketika kecintaan dunia tiba, cahaya ma’rifat akan terhalang dari kalbu.”
Ada pula yang mengatakan, “Hakikat ma’rifat adalah cahaya yang dikaruniakan di dalam kalbu Mukmin, dan tiada yang lebih mulia dalam khazanah kecuali ma’rifat.”

Sebagian Sufi berkata, “Matahari kalbu Sang `Arif lebih terang dan bercahaya dibandingkan matahari di siang hari. Karena matahari pada siang hari kemungkinan menjadi gelap karena gerhana, sedangkan matahari kalbu tiada pernah mengalami peristiwa gerhana (kusuf). Matahari siang tenggelam ketika malam, namun tidak demikian pada matahari kalbu.” Mereka mendendangkan syair:
Matahari siang tenggelam di waktu senja
matahari kalbu tiada pernah tenggelam
Siapa yang mencintai Sang Kekasih
`Kan terbang sayap rindunya
menemui Kekasihnya.

Dzun Nun berkata bahwa hakikat ma’rifat adalah penglihatan al-Haq atas rahasia-rahasia relung kalbu melalui perantaraan (muwashalah) Kilatan-kilatan lembut (latha’if) cahaya-cahaya:
Bagi orang `arifin, terdapat kalbu-kalbu yang diperlihatkan
Cahaya I1ahi dengan rahasia di atas rahasia
Yang terdapat dalam berbagai hijab
Tu1i dari makhluk, buta dari pandangan mereka
Bisu dari berucap dalam klaim-klaim dusta.

Sebagian di antara mereka ditanyai, “Kapankah seorang hamba mengetahui bahwa dia telah mencapai ma’rifat yang hakiki?” Dijawab, “Tatkala dia mencapai tahapan tidak menemukan dalam kalbunya sedikit pun ruang bagi selain Tuhannya.”

Sebagian Sufi ada pula yang berkata, “Hakikat ma’rifat adalah musyahadah kepada Yang Haq tanpa perantara, tanpa bisa diungkapkan, tanpa ada keraguan (syubhah).” Seperti ketika Amirul-Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. ditanya, “Wahai Amirul-Mukminin, apakah yang anda sembah itu yang dapat anda lihat atau tidak dapat anda lihat?” “Bukan begitu, bahkan aku menyembah Yang aku lihat, bukan dengan penglihatan mata, tetapi penglihatan kalbu,” jawab Ali.
Ja’far ash-Shadiq ditanya, “Apakah anda pernah melihat Allah swt.?”
“Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak bisa kulihati” Ditanyakan lagi, “Bagaimana anda melihat-Nya, padahal Dia tidak dapat dilihat mata?”

Ja’far menjawab, “Mata penglihatan fisik tidak bisa melihat-Nya, tetapi mata batin (al-qulub) dapat melihat-Nya melalui hakikat iman. Tidak diketahui melalui penginderaan dan tidak pula dianalogikan dengan manusia.”

Sebagian `arifin ditanya seputar hakikat ma’rifat. Mereka berkata, “Menyucikan sirr (rahasia) kalbu dari segala kehendak ‘ dan meninggalkan kebiasaan sehari-hari, tentramnya kalbu kepada Allah swt. tanpa ada ganjalan (`alaqah), berhenti dari sikap berpaling dari Allah swt. dan menuju selain Allah swt. Mustahil, ma’rifat kepada substansi Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya, dan tidak akan diketahui siapa Dia, kecuali melalui Dia sendiri, Yang Mahaluhur, Mahatinggi, serta Kemuliaan hanya kepada Diri-Nya saja.”

Selasa, 10 Februari 2009

Untuk Bidadariku

Bidadariku ,
Kabar baik bidadariku sayang .............
Bidadariku,
Sungguh tiap waktu ini selalu teringat dirimu..........
Bidadariku,
Aku memang jatuh cinta padamu..............
Bidadariku,
Dimanakah aku bisa menjemputmu...........

Bidadariku,
Mungkinkah cinta ini khan menjadi kenyataan?
Disaat rintangan mungkin menghadang
Walau ku yakin aku sanggup menghadapinya

Bidadariku,
Aku selalu ingin menatapmu
Aku selalu ingin dekat denganmu
Aku selalu sedih ketika jauh darimu
Aku selalu rindu dirimu

Bidadariku,
Aku inginkan kesetiaan sejatimu
Biar hati ini selalu tenang walau tak kulihat dirimu

Bidadariku,
Aku ingin cinta yang sejati saja
Biar hanya kita saja yang memahaminya
Biar hanya kita saja yang merasakannya
Biar hanya kita yang tahu cinta ini
Ya ,... aku ingin tak ada orang yang tahu tentang cinta kita ini
Ya,.... biar untuk kita berdua saja keindahan - keindahan ini
Ya, ... biar dirimu saja yang ada dalam bayanganku

Bidadariku,
Memang aku sungguh mencintaimu ............
Sungguh ....... sungguh aku sangat mencintaimu .................
Di tiap detik ini .........
Disemua langkahku ...........
Disemua tatapan mataku ..........
Sungguh ........ cepatlah datang bidadariku .......

Bidadariku,
Sungguh aku sangat mencintaimu ........
Tapi ....Maafkan aku bidadariku ...............
Karena cinta sejatiku hanya untuk penciptaKu
Karena cinta sebenarnya hanya untuk Rabbku
Karena cinta murniku hanya pemberi rizkiKu
Karena cinta sesungguhnya hanya untuk Dzat Yang Maha Adil

Jumat, 06 Februari 2009

Kenapa harus ada cinta ?

Ya ... kenapa harus ada cinta ?
padahal cinta membuat aku resah dan gelisah...
padahal dengan cinta aku sering menangis dalam kesendirian ...
padahal dengan cinta aku terlena oleh bayangannya ...

Ya ... kenapa harus ada cinta ?
Memang dengan cinta aku semakin banyak belajar ...
Memang dengan cinta aku semakin kuat menjalani hidup ...
Memang dengan cinta semangat ini semakin bergelora ...

Ya...kenapa harus ada cinta ?
Tapi karena cintalah aku bisa bercerita banyak ...
Tapi karena cinta juga aku bisa tertawa dan bersedih ...
Tapi karena cinta pula aku mampu bersemangat ...

Ya...kenapa harus ada cinta ?
Sebenarnya cinta adalah anugerah dari Alloh...
karena dengan cinta aku semakin rindu kepadaNya...
Dan dengan cinta pula aku semakin sering menangis karena kerinduan yang mendalam...
Rindu perjumpaan denganNya ...
Rindu menunggu buah cinta kepadaNya...
Rindu perjumpaan dengan kekasihNya...
Rindu akan syurgaMu...
Ya... aku mengerti sekarang
Ya... memang harus ada cinta
Ya... asal jangan cinta yang membutakan mata hatiku
Ya... asal jangan cinta yang membuatku terlena dengan dunia ini
Ya... asal jangan cinta kepada mahluk yang membuatmu jatuh ke lembah dosa
Ya... aku mengerti sekarang
Ya... memang cintaku hanya untukMu









Kamis, 05 Februari 2009

Cemburu3

Sisi lain kecemburuan adalah, bahwa sebagian orang cemburu ketika melihat orang lain berdzikir kepada-Nya dengan alpa; sehingga tidak mungkin rasanya memandang mereka, yang membuatnya menderita.

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar tentang kejadian ketika seorang Badui masuk ke dalam masjid Nabi dan kencing. Para sahabat berdatangan untuk mengeluarkan orang itu. Abu Ali mengatakan, "Orang Badui itu berperilaku buruk sekali, tetapi rasa malu justru menimpa para sahabat. Begitu juga halnya dengan seorang hamba. Apabila ia mengetahui kemahakuasaan dan kebesaran Allah swt, maka ia akan marah manakala mendengar seseorang berdzikir kepada Allah dengan ceroboh, atau manakala melihat seseorang yang melakukan ketaatan ibadat tanpa benar benar disertai penghormatan kepada-Nya."

Diceritakan, bahwa salah seorang putra Abu Bakr asy-Syibly yang bernama Abul Hasan, meninggal dunia. Sebagai tanda berkabung, ibunya memotong seluruh rambutnya. Asy-Syibly pergi ke rumah pemandian dan mencukur jenggotnya hingga licin. Setiap orang yang datang untuk mengucapkan dukacita bertanya, "Apa yang telah engkau lakukan, wahai Abu Bakr?" Ia menjawab, "Aku mengikuti contoh yang diberikan istriku." Salah seorang di antara mereka bertanya lagi, "Katakanlah kepadaku, wahai Abu Bakr, mengapa Anda melakukan hal ini?" Ia menjawab, "Aku tahu bahwa orang orang akan datang untuk menyatakan belasungkawa dengan menyebut nama Allah secara sembrono dengan mengatakan, 'Semoga Allah memberikan ganti kepadamu.' Aku mengorbankan jenggotku untuk menebus kesembronoan mereka dalam menyebut nyebut nama Allah swt."

Ketika an-Nury mendengar seseorang menyerukan adzan, ia berteriak, "Bohong dan racun!" Sebaliknya ketika mendengar seekor anjing menggonggong, la berkata, "Iya, aku siap, melayanimu!" Seseorang berkomentar, "Ini adalah bid'ah. Ia mengatakan kepada seorang beriman yang bersaksi atas tauhid, 'Bohong dan racun,' sementara ia mengatakan, 'Yah, siap melayanimu!' pada anjing yang menggonggong!" Ketika ditanya alasan ucapannya itu, an-Nury menjelaskan, "Orang itu menyebut nyebut nama Allah dengan penuh kealpaan, sedangkan anjing itu, Allah swt. telah berfirman, 'Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah.' (Q.s. AI Isra': 44)."

Suatu ketika asy-Syibly menyerukan adzan. Usai mengucapkan dua kalimat syahadat, ia berkata, "Seandainya Engkau tidak memerintahkan aku menyebut demikian, niscaya aku tidak akan menyebutkan yang lain bersama, dengan-Mu."

Suatu ketika seseorang mendengar seorang lainnya berseru, "Maha, Agung Allah!" Ia menjawab, "Aku lebih suka mengagungkan-Nya, dengan cara tidak seperti itu!"

Abul Hasan al-Khazafany berkata, "Laa ilaaha illallaah dari dalam kalbu, dan Muhammadurrasuulullaah dari telingaku, maka orang yang hanya melihat perkataan ini pada tekstualnya saja akan menyangka bahwa ia telah menghina syariat. Namun sesungguhnya tidaklah demikian. Sebab, bahaya bagi tipu daya, justru ketika disandarkan pada Kekuasaan Allah swt, sementara justru menghina dalam pelaksanaannya.

Cemburu2

Asy-Syibly pernah ditanya, "Kapankah engkau istirahat?" Ia menjawab, "Jika kudapati bahwa tiada lagi orang berdzikir kepada-Nya."

Saya mendengar Syelkh Abu Ali ad-Daqqaq telah mengomentari sabda Nabi saw. ketika beliau baru saja menyelesaikan akad jual beli seekor kuda dengan seorang Badui. Orang Badui itu menuntut agar penjualan dibatalkan, maka Nabi pun membatalkannya. Kemudian si Badui berkata, "Semoga Allah swt. memberimu umur panjang. Dan golongan apa engkau?" Nabi menjawab, "Seorang laki laki dari suku Quraisy." Salah seorang sahabat yang hadir mencela si Badui, "Kekurang ajaran mana. yang lebih besar daripada tidak mengenali Nabimu?" Syeikh Abu Ali berkata, "Nabi saw. bersabda, 'Seorang laki laki dari suku Quraisy,' itu adalah karena cemburu. jika tidak, tentu beliau akan menjawab kepada siapa pun yang bertanya kepada beliau, siapa diri beliau yang sebenarnya. Kemudian Allah swt. menjadikan sahabat tersebut mengungkapkan identitas beliau kepada si Badui dengan bertanya,'Kekurang ajaran mana yang lebih besar dari pada tidak mengenali Nabimu'?"

Sebagian Sufi berkata, "Cemburu adalah sifat orang orang pemula. Orang yang sudah mencapai kemanunggalan tidaklah mengalami cemburu, tidak pula memiliki predikat ikhtiar, tidak pula peduli atas apa yang terjadi di kerajaan. Allah swt. Sematalah yang lebih utama dari segalanya, dalam segala ketentuan yang dikehendakiNya."

Sa'id bin Salam al Maghriby mengatakan, "Cemburu adalah amal para murid. Sedangkan mereka yang telah mencapai hakikat kebenaran, tidak ada rasa cemburu."

Dulaf asy-Syibly menjelaskan, "Ada dua macam cemburu: Cemburu manusia satu sama lain dan cemburu Allah terhadap hati manusia." Ditegaskannya juga, "Cemburu Allah menyangkut nafas manusia, jika nafas itu dihembuskan untuk selain Allah swt."

Seharusnya dikatakan, "Ada dua macam cemburu: Pertama, cemburu Allah kepada manusia, artinya Dia tidak ingin ada sesuatu yang melimpahi makhluk. Dan kedua, cemburu hamba terhadap Allah swt, berarti penolakannya untuk mengabdikan keadaan-keadaan atau nafasnya kepada selain Allah." Karenanya tidak dapat dikatakan, "Aku cemburu kepada Allah swt." Tapi hendaklah mengatakan, "Aku cemburu demi Allah swt. " Cemburu kepada Allah swt, adalah kebodohan dan mungkin dapat meninggalkan agama. Tetapi cemburu demi Allah, melahirkan pengagungan hak-Nya dan penjernihan amal amal kebajikan kepada-Nya.

Ketahuilah, bahwa Sunnatullah atas wali-wali-Nya adalah-jika mereka menemukan kepuasan pada selain Allah, mendengarkan kepada selain Allah, atau memperbolehkan yang selain Allah untuk bersemayam dalam hati mereka, maka hal itu akan menimbulkan kegelisahan dalam hati mereka - Allah begitu cemburu akan hati mereka hingga Dia mengembalikan mereka kepada Diri Nya, dalam keadaan kosong dari semua hal lain yang memberikan kepuasan kepada mereka, dari semua yang mereka pedulikan dan dari semua yang mereka perbolehkan bersemayam di hati mereka.

Sebagaimana Nabi Adam as. ketika hatinya tersirat keinginan hidup abadi di surga, justru sebaliknya beliau dikeluarkan dari surga. Ini juga terjadi kepada Ibrahim as. di saat keberadaan Ismail membuat beliau bangga dan kagum, Allah memerintahkan untuk menyembelihnya, sampai Ismail keluar dari dalam hati Ibrahim. "Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim telah membaringkan anaknya atas pelipis(nya) (untuk dikorbankan)." (Q.s. Ash- Shaffaat: 103), dan Ibrahim telah menyucikan batinnya melalui perintah Nya, lalu Allah menggantikan dengan domba.

Muhammad bin Hissan menuturkan, "Sekali waktu, ketika aku sedang mengelilingi pegunungan Libanon, seorang pemuda datang kepadaku. Tubuhnya telah terbakar oleh badai pasir dan angin. Ketika melihatku, ia berpaling dan lari. Aku mengikutinya dan berkata, 'Berilah aku sepatah kata nasihat!' Ia menjawab, 'Waspadalah, karena Dia pencemburu. Dia tidak mati menemukan sesuatu selain Diri-Nya dalam hati hamba-Nya."

An-Nashr Abadzy berkata, "Allah swt. adalah Pencemburu. Salah satu tanda cemburu Nya adalah bahwa Dia tidak menjadikan jalan menuju Diri Nya selain dari Diri-Nya sendiri."

Diriwayatkan bahwa Allah swt. menyampaikan wahyu kepada salah seorang Nabi Nya, "Si Fulan membutuhkan Aku dan Aku pun membutuhkannya. Jika ia memenuhi kebutuhan Ku, Aku pun akan memenuhi kebutuhannya." Nabi tersebut-semoga Allah melimpahan keselamatan kepadanya-bertanya dalam munajatnya, "Wahai Tuhanku, bagaimana mungkin Engkau membutuhkan sesuatu?" Allah menjawab, "Ia telah menemukan ketenangan selain Aku. Maka hendaknya ia mengosongkan hatinya, Aku akan memenuhi kebutuhannya."

Diceritakan, bahwa Abu Yazid al-Bisthamy bermimpi melihat sekelompok bidadari. Ia memandang mereka, sehingga beberapa hari waktunya terbengkalai. Kemudian ia bermimpi melihat mereka lagi. Tetapi kali ini ia tidak menoleh kepada mereka, seraya berkata, "Kalian semua mengalihkan perhatianku!"

Dikatakan bahwa Rabi'ah al-Adawiyah jatuh sakit pada suatu hari, dan seseorang bertanya tentang sebab sakitnya. Ia menjawab, "Karena aku memalingkan hatiku ke surga, maka Allah mendidikku dan bagi-Nya berhak mengecamku. Aku tidak akan melakukannya lagi."

Diriwayatkan bahwa as-Sary as-Saqathy mengabarkan, "Satu ketika aku sedang mencari salah seorang sahabatku. Aku menjelajahi beberapa gunung dan bertemu dengan segerombolan orang yang semuanya berpenyakit, buta, atau lumpuh. Ketika aku bertanya kepada mereka apa yang sedang mereka kerjakan di tempat itu, mereka menjawab, 'Kami diberitahu bahwa di sini tinggal seorang laki laki yang keluar (dari gua) sekali setahun. jika ia berdoa untuk orang banyak, mereka akan sembuh.' Aku lalu menunggu sampai orang itu keluar. Ia berdoa untuk orang orang itu, dan mereka pun sembuh. Aku mengikutinya, datang ke dekatnya dan bertanya, Apakah obat untuk penyakit batinku?' Ia menjawab, 'Wahai Sary, pergilah dariku, agar Allah swt Yang Pencemburu, tidak melihatmu mencari ketenangan dari selain Dia. Itu akan merendahkan derajatmu di sisi-Nya'."

Cemburu

Syeikh Abul Qosim al-Qusyairy
Allah swt. berfirman : "Katakanlah, 'Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang lahir ataupun yang batin. " (Q.s. Al A'raf 33). Rasulullah saw. telah bersabda:

"Tidak ada yang lebih pencemburu daripada Allah swt. Di antara cemburu Nya adalah Dia melarang perbuatan keji, baik kekejian yang lahir maupun keji yang batin. " (H.r. Bukhari Muslim, Ahmad dan Tirmidzi).

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda:

"Allah itu pencemburu dan orang Mukmin juga pencemburu. Cemburu Allah swt. adalah sifat yang muncul bilamana seorang hamba yang beriman melakukan apa yang telah dilarang-Nya. (H.r. Bukhari Muslim dan Tirmidzi).

Cemburu, adalah rasa tidak suka jika orang lain memiliki sesuatu. Allah digambarkan bersifat ghirah (cemburu), berarti bahwa Allah tidak ridha manakala ada tuhan lain di sisi Nya, yang sesungguhnya adalah Hak Allah ketika hamba Nya taat kepada Nya.

Diriwayatkan dari as-Sary as Saqathy ketika dibacakan ayat:

"Dan apabila kamu membaca AI Qu'ran, niscaya Kami adakan antara kamu dan orang orang yang tidak beriman pada kehidupan akhirat suatu hijab yang tidak dapat ditembus."

(Q.s. AI Isra': 45).

As Sary berkata kepada murid muridnya, "Tahukah kamu apakah yang hijab itu? Itu adalah hijab cemburu. Tidak ada yang lebih pencemburu daripada Allah swt."

Dengan kata kata "itu adalah hijab cemburu", maksud as-Sary bahwa Allah swt. tidak memberikan kemampuan kepada orang orang kafir untuk mengetahui kebenaran agama.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, "Allah swt. telah mengikatkan beban kehinaan pada kaki orang orang yang malas dalam beribadat kepada Nya. Dia menempatkan mereka pada jarak yang jauh dari-Nya dan menjadikan mereka terlambat lagi dari kedudukan yang dekat kepada Nya." Dalam makna ini mereka, para Sufi bersyair:

Aku pecinta setia kepada yang kucintai, tetapi pertolongan mana yang bisa kuperoleh dengan buruknya pandang para tuan?

Kaum Sufi juga mengatakan tentang masalah ini, "Seorang yang sakit tidak terjenguk, dan orang yang sangat mengingini tidaklah diinginkan."

Al Abbas az-Zauzany mengatakan, "Aku dianugerahi kebaikan dalam permulaan perjalanan ruhaniku. Aku mengetahui apa yang masih tersisa antara aku dan tujuanku. Pada suatu malam aku bermimpi tergelincir dari puncak gunung yang ingin kucapai. Aku sangat sedih (ketika bangun). Kemudian aku tertidur lagi, dan mendengar sebuah suara mengatakan, 'Wahai Abbas, Allah tidak menghendaki engkau mencapai tujuan yang engkau upayakan. Tetapi Dia telah membawakan hikmah kepada lidahmu.'Ketika aku bangun pagi, aku benar benar telah dianugerahi ilham ucapan ucapan yang penuh hikmah."

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan, " Suatu ketika ada seorang syeikh yang mengalami kondisi ruhani dan saat saat bersama Allah swt. Setelah itu ia tidak tampak beberapa lama di antara orang orang miskin. Ketika muncul kembali, tidak dalam keadaan sebagaimana sebelumnya, mereka bertanya kepadanya apa yang telah terjadi. Ia menjawab,'Duh, hijab telah terjadi'."

Selama dalam majelis, tiba tiba terjadi sesuatu yang merasuki hati mereka yang hadir, Syeikh Abu Ali biasa berkata, "Ini adalah kecemburuan Allah swt. Dia tidak menghendaki mereka mengalami nuansa lebih dari saat yang jernih ini."

Dalam hal ini, para Sufi bersyair berikut:
Juwita berhasrat datang kepada kami, sampai ketika ia memandang cermin
Keindahan wajahnya
telah menawan dirinya.

Sebagian Sufi ditanya, "Apakah engkau ingin melihat-Nya?" Ia menjawab, "Tidak!" Ia ditanya, "Mengapa?" Ia menjawab, "Aku ingin menyucikan Keindahan yang begitu agung dari segala pandangan seperti persepsiku."

Para Sufi bersyair:
Aku iri kepada mataku yang memandangmu
Hingga kutundukkan ketika aku melihatmu.
Kulihat dirimu menampakkan keindahan keindahan yang membuatku terpesona.
Aku cemburu Darimu Padamu.

Cinta

Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy
Allah Swt. berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatang­kan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.”
(Q.s. Al-Maidah: 54).

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw telah bersabda:
“Barangsiapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun mencintai pertemuan dengannya. Dan barangsiapa tidak mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak mencintai pertemuan dengannya.” (H.r. Bukhari).

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik dari Nabi Saw, dari Jibril as. yang memberitahukan bahwa Tuhannya Allah Swt telah berfirman:

“Barangsiapa menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu-­ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun kematian itu harus terjadi. Tak ada cara taqarrub yang paling Kucintai bagi seorang hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dan senantiasa dia mendekati Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa pun yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang penopang yang kokoh baginya.”
(Hadis dikeluarkan oleh Ibnu Abud Dunya, al-Hakim, Ibnu Mardawieh dan Abu Nu’aim serta Ibnu Asaakir, riwayat dari Anas r.a.).

“Barangsiapa menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu-­ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun kematian itu harus terjadi. Tak ada cara taqarrub yang paling Kucintai bagi seorang hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dan senantiasa dia mendekati Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa pun yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang penopang yang kokoh baginya.”

(Hadis dikeluarkan oleh Ibnu Abud Dunya, al-Hakim, Ibnu Mardawieh dan Abu Nu’aim serta Ibnu Asaakir, riwayat dari Anas r.a.).

Gelora rindu2

Salah seorang Sufi menyatakan, “Rindu adalah kobaran dari jiwa, dan apinya menjilat-jilat ketika berpisah. Bila pertemuan tiba, api itu jadi padam. Bila yang dominan pada rahasia batinnya adalah penyaksian sang kekasih, kerinduan tak melintas lagi.”

Seorang Sufi ditanya, “Apakah Anda pernah mengalami kerinduan?” Dia menjawab, “Tidak Rindu hanya bagi pecinta yang tak bersama kekasihnya. Sedangkan Kekasih sebenarnya, senantiasa hadir.”
Saya mendengar Syeikh Abul Ali ad-Daqqaq memberi komentar atas firman Allah Swt, “... dan aku bersegera kepadamu, wahai Tuhanku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku).” (Q.s. Thaha: 84). Arti ayat ini, ‘Aku bersegera kepada-Mu karena rindu kepada-Mu,”namun disamar­kan melalui kata ridha.

Ad-Daqqaq juga berkata, “Salah satu tanda rindu adalah harapan pada kematian dalazn hamparan ampunan yang sejahtera. Begitulah Nabi Yusuf as. Ketika dilemparkan ke dalam sumur, beliau tidak berkata, ‘Biarkanlah aku mati saja!’ Ketika dimasukkan ke dalam penjara, beliau juga tidak mengatakan, ‘Biarkanlah aku mati saja!’ Tetapi ketika orangtuanya datang kepadanya dan semua saudaranya bersujud kepadanya, beliau berkata, ‘Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam.’ (Q.s. Yusuf 101).”

Mengenai hal ini para Sufi bersyair:
Kami dalam puncak kegembiraan, Namun tak bisa sempurna, kecuali dengan kalian
Cacat yang ada pada kami, wahai orang-orang yang kucintai, Engkau semua dighaibkan sedang kami telah hadir.
Mereka juga bersyair:
Siapakah yang memeriahkan pesta raya,
Padahal aku sungguh berduka, Kegembiraan telah penuh bagiku
bila kekasih-kekasihku tiba.

Abu Abdullah bin Khafif mengatakan, “Rindu adalah hembusan qalbu yang muncul karena pesona, kecintaan untuk bertemu dan rasa ingin berdekatan.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata, “Allah Swt. mempunyai hamba­-hamba tertentu, jika Dia menutup tirai bagi mereka, maka mereka akan memohon agar dikeluarkan dari surga sebagaimana para penghuni neraka minta dikeluarkan dari neraka.”

Al-Husain at-Anshary berkata, “Aku bermimpi bahwa hari Kiamat telah tiba. Kulihat ada seseorang yang berdiri di bawah Arasy.
Allah Swt. lalu bertanya, ‘Wahai para malaikat-Ku, siapakah orang ini?’ Mereka menjawab, ‘Engkau lebih Maha Mengetahui.’
Maka Allah Swt. pun berfirman, ‘Inilah Ma’ruf al-Karkhy. Dia mabuk karena mencintai-Ku; dan tak akan sadar kecuali berjumpa dengan-Ku.’

Riwayat lain mengatakan, ‘Inilah Ma’ruf al-Karkhy. Dia meninggal­kan dunia dalam keadaan rindu kepada Allah. Maka Allah lalu memperkenankannya menatap Wajah-Nya’.”

Faris menegaskan, “Batas para perindu disinari dengan cahaya Allah Swt. Manakala gairah kerinduan mereka membara, cahaya itu mene­rangi langit dan bumi, dan Allah Swt. menunjukkan kepada malaikat­-malaikat-Nya, seraya berfirman, ‘Mereka adalah perindu-perindu-Ku, Aku bersaksi pada kalian bahwa Aku pun sesungguhnya lebih rindu kepada mereka’.”

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq pernah menjelaskan mengenai sabda Nabi Saw, ‘Aku memohon kepada-Mu agar diberi rindu untuk berjumpa dengan-Mu.”

Komentar Abu Ali, “Rindu itu terdiri dari seratus bagian. Nabi memiliki Sembilan puluh sembilan bagian, dan yang satu bagian dibagi-bagi di kalangan ummat manusia.”

Abu Ali juga menginginkan yang satu bagian itu, karena beliau cemburu jika satu bagian rindu diberikan kepada orang lain.”
Dikatakan, “Kerinduan orang-orang muqarrabun lebih sempurna dibanding kerinduan mereka yang terhijab dari kehadiran­Nya.”
Demikianlah dikatakan penyair:
Seburuk kerinduan suatu ketika
bila tenda-tenda saling mendekat.

Dikatakan juga, “Para perindu saling merasakan manisnya kematian, ketika menjemputnya, semata karena jiwa pertemuan telah terbuka melebihi manisnya penyaksian.”

As-Sary menyatakan, “Rindu adalah maqam teragung bagi seorang ‘arif manakala telah terwujud di dalamnya. Manakala dia mencapai kerinduan, dia menjadi lupa akan segala sesuatu yang menjauhkan dari yang dirindukannya.”
Abu Utsman bin Sa’id
al-Hiry berkomentar mengenai firman Allah Swt,
“Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. “ (Q.s. Al-Ankabut: 5).
“Ayat ini sebagai penentram bagi para perindu. Tafsirnya: Aku tahu bahwa rindu kalian kepada-Ku begitu kuat. Aku telah menetapkan satu waktu bagi kalian untuk berjumpa dengan-Ku. Kalian semua akan segera datang kepada Yang kalian rindukan’.”
Dikatakan bahwa Allah Swt. mewahyukan kepada Nabi Daud as, “Katakanlah kepada para pemuda Bani Israil, ‘Mengapa kalian menaruh kepedulian selain kepada-Ku, sedangkan Aku merindukanmu? Dusta macam apa ini’?”

Allah Swt. juga menurunkan wahyu kepada Daud as, “Jika saja mereka yang telah berpaling dari-Ku mengetahui bagaimana Aku telah menunggu mereka, melimpahkan kasih sayang kepada mereka, dan kerinduan-Ku agar mereka meninggalkan kemaksiatan terhadap-Ku, pasti mereka mati semua karena rindu mereka, dan sendi-sendi mereka remuk karena cinta kepada-Ku. Wahai Daud, inilah Kehendak-Ku terhadap mereka yang telah berpaling dari-Ku, lalu bagaimana Kemauan-Ku terhadap mereka yang menghadap kepada-Ku?”
Dikatakan bahwa dalam kitab Taurat tertulis, “Kami sangat merin­dukan kalian semua, namun kalian tidak saling membalas rindu; Kami tanamkan rasa takut dalam dirimu, tapi kalian sendiri tidak merasa takut. Dan Kami memberi ratapan kepada kalian, sayangnya, kalian semua tidak pernah meratap.”

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan, “Suatu ketika Syu’aib menangis hingga matanya buta. Allah Swt. mengembalikan penglihat­annya.

Dia menangis lagi sampai buta kembali, dan Allah Swt. mengembalikan lagi penglihatannya. Kemudian dia menangis sampai buta, lantas Allah Swt. mewahyukan,
‘Jika engkau menangis karena surga, maku Aku pun memperkenankannya. Jika engkau menangis karena neraka, maka Aku pun telah menjadikanmu selamat darinya.’
Syu’aib menjawab, `Bukan itu. Aku menangis karena rindu kepada­Mu.’
Lalu Allah berfirman padanya,’Karena itu Aku menunjuk Nabi­-Ku dan Kalimat-Ku untuk melayanimu selama sepuluh tahun’.”
Dikatakan, “Barangsiapa rindu kepada Allah Swt, maka segala sesuatu merindukannya.”

Dan dalam hadist disebutkan, “Surga merindukan tiga orang:
Ali, Ammar dan Salman.”
Malik bin Dinar mengatakan, “Aku membaca dalam Taurat begini, ‘Kami bangkitkan rindu dalam dirimu, tetapi kamu sekalian tidak rindu kepada Kami.

Kami mainkan seruling untukmu, tetapi engkau tidak menari :”
Al Junayd ditanya, “Apa yang membuat seorang pencinta menangis ketika bertemu dengan Kekasihnya?” Dia menjawab,
“Itu hanya karena kegembiraannya pada Sang Kekasih, dan kepesonaan karena kedahsyatan rindu kepada-Nya.”

Gelora rindu1

Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy
“Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.s. Al-Ankabut: 5)

Atha’ bin as-Sa’ib menuturkan bahwa ayahnya menceritakan kepadanya, “Suatu ketika Ammar bin Yasir mengimami kami shalat dan dia mempercepatnya. Aku berkata, Anda tergesa-gesa dalam mengimami shalat, wahai Abul Yaqzan.’ Dia menjawab,
‘Hal itu tidak ada salahnya, karena aku memanjatkan kepada Allah sebuah doa yang pernah kudengar dari Rasulullah Saw’, Ketika hendak beranjak, salah seorang jamaah mengikutinya dan bertanya kepadanya tentang doa yang dibacanya itu.

Dia pun mengulanginya, ‘Ya Allah, dengan ilmu­-Mu yang ghaib dan dengan kekuasaan-Mu atas semua makhluk, hidupkanlah aku jika Engkau tahu bahwa hidup itu membawa kebaikan untukku, dan matikanlah aku jika Engkau tahu bahwa mati itu membawa kebaikan untukku. Ya Allah aku meminta kepada-Mu agar aku takut kepada-Mu dalam semua perkara, baik yang nyata maupun yang ghaib. Aku memohon kepada-Mu ungkapan yang benar ketika aku senang maupun ketika aku marah. Aku mohon kepada-Mu kesederhanaan dalam kekayaan maupun kemiskinan. Aku mohon kepada-Mu kesenangan yang abadi, dan kesejukan jiwa yang tak terputus. Aku mohon kepada-Mu keridhaan dengan apa yang telah ditentukan. Dan aku mohon kepada-Mu kehidupan yang sejuk sesudah mati. Aku memohon agar bisa melihat Wajah-Mu yang Mulia, dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu tanpa bahaya yang mengancam, atau menjadi korban fitnah yang menyesatkan.

Ya Allah, hiasilah kami dengan keindahan iman. Ya Alah, jadikanlah kami sebagai pemberi petunjuk maupun penerima petunjuk’.”
Rindu adalah keadaan gairah hati yang berharap untuk berjumpa dengan Sang Kekasih. Kadar rindu tergantung besar volume cinta. Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq membedakan antara rindu dan hasrat yang bergolak, katanya, “Rindu ditentramkan oleh perjumpaan dan memandang. Sedangkan hasrat yang bergolak tidak sirna karena pertemuan.”
Mengenai konteks ini para Sufi bersyair:
Mata tak pernah berpaling ketika memandang-Nya,
Sehingga-kembali kepada-Nya, penuh gelora.

An-Nashr Abadzy menyatakan, “Semua orang mempunyai tahap kerinduan. Namun tidak semuanya mengalami tahap gelora, dan siapa yang memasuki gelora itu, justru akan linglung, sehingga ia tidak dipandang lagi pengaruh atau kesan dan keteguhan.”

Diceritakan bahwa Ahmad bin Hamid al-Aswad datang kepada Abdullah ibnul Mubarak dan berkata kepadanya, “Aku bermimpi engkau akan meninggal setahun lagi. Barangkali engkau harus bersiap-­siap untuk keluar dari dunia.” Abdullah ibnul Mubarak menjawab, “Engkau memberiku waktu yang lama, aku hidup sampai setahun penuh! Padahal aku selalu menyukai syair yang kudengar dari Abu Ali ats-Tsaqafy:
Wahai yang tercekam rindu karena perpisahan panjang
Bersabarlah, siapa tahu esok engkau bertemu SangKekasih.

Abu Utsman menuturkan, “Tanda rindu adalah mencintai kematian dengan hati yang ringan.”
Yahya bin Mu’adz menyatakan, “Tanda rindu adalah membebaskan tubuh dari hawa nafsu.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan, “Pada suatu hari Daud as. pergi sendirian ke padang pasir, kemudian Allah Swt. menurunkan wahyu kepadanya, ‘Wahai Daud, Aku tidak memandangmu sebagai orang yang sendirian!’ Daud menjawab, ‘Tuhanku, aku terpengaruh oleh kerinduan dalam hatiku untuk bertemu dengan-Mu, lantas terhalang antara diriku untuk bergaul dengan sesama manusia.’

Maka Allah Swt berfirman: “Kembalilah kepada mereka. Sebab bila engkau mendatangi­-Ku bersama seorang hamba yang lari dari tuannya, Aku tetapkan dirimu di Lauh Mahfudz sebagai seorang arif yang bijak’.”

Diceritakan, ada seorang wanita tua yang didatangi oleh pemuda yang termasuk kerabatnya. Keluarga lainnya merasa gembira, namun wanita itu justru menangis tersedu. Ia ditanya, ‘Apa yang engkau tangisi?” Wanita itu menjawab, “Aku teringat kedatangan pemuda itu, jika kelak di hari kedatangan kita kepada Allah Swt.”

Ketika Ahmad bin Atha’ ditanya tentang rindu, dia menjawab, “Jiwa yang terbakar, qalbu yang berkobar, dan jantung yang berkeping-keping.”
Pada kesempatan lain dia ditanya, “Manakah yang lebih utama, rindu ataukah cinta?” Ibnu Atha’ menjawab, “Cinta, karena rindu terlahir dari cinta.”

Rabu, 04 Februari 2009

Kewalian3

Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Seorang wali adalah wewangian Allah di bumi, yang dicium baunya oleh para shiddiqin, hingga bau itu menyentuh kalbunya, sampai mereka terbelenggu rindu pada Tuhannya, Ibadat mereka senantiasa bertambah menurut derajat akhlaknya.”

Muhammad al Wasithy ditanya, “Bagaimana seorang wali dibesarkan dalam kewaliannya?” Dia menjawab, “Pada awalnya, dia dibesarkan dengan ibadatnya. Untuk mencapai kematangannya, dia dibesarkan dengan tabir melalui kelembutan-Nya. Kemudian Dia mengembalikannya ke dalam sifat-sifatnya yang terdahulu; dan akhirnya Dia menjadikannya menikmati rasa keteguhannya dalarn waktu-waktunya.”
Dikatakan, “Tanda kewalian ada tiga: Dia sibuk dengan Allah swt, dia lari kepada Allah swt, dan dia hanya bercita-cita kepada Allah swt.” Al-Kharraz berkata, “Jika Allah swt. berkehendak mengangkat salah seorang hamba-Nya menjadi wali, maka Dia akan membuka baginya pintu gerbang dzikir kepada-Nya. Jika dia telah merasakan manisnya dzikir, maka Dia akan membukakan baginya pintu kedekatan. Lantas dinaikkan ke tahta kesukacitaan ruhani. Kemudian dia ditempatkan­Nya di atas tahta tauhid. Kemudian dibukalah tabir dan dimasukkan ke dalam rumah Ketunggalan. Disibakkan baginya Keagungan dan Kebesaran Ilahi. Manakala matanya memandang Kebesaran dan Keagungan, la tetap tanpa dirinya. Pada saat seperti itu si hamba menjadi fana’. Setelah itu dia akan berada di dalam perlindungan Allah swt, bebas dari kecenderungan dirinya sendiri.”
Abu Turab an-Nakhsyaby mengatakan, “Manakala hati seorang menjadi terbiasa berpaling dari Allah swt, maka kejadian itu diketahui oleh para wali Allah swt.”

Dikatakan, “Salah satu sifat seorang wali adalah bahwa dia tak punya rasa takut, sebab takut adalah suatu keadaan yang dibenci yang menempati di masa datang. Atau menunggu kekasih yang hilang di masa lalu. Sedangkan wali adalah anak waktunya, tak ada gambaran di depan hingga ia harus takut, atau tak ada harapan, karena harapan itu sendiri adalah menunggu yang tercinta untuk datang, atau bahkan yang dibenci kelak terbuka kedoknya. Hal itu juga berada di luar lingkup masa kini. Sang wali juga tak pernah merasa sedih, sebab sedih adalah penderitaan dalam waktu. Bagaimana mungkin orang yang telah merasakan cahaya ridha dan tentramnya selaras dengan­Nya akan tertimpa kesedihan?

Allah swt. berfirman,
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allahitu, tidak ada kekhawatiran pada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (Q.s. Yunus: 62).

Kewalian2


Ibrahim bin Adham pernah bertanya kepada seseorang, “Apakah engkau ingin menjadi wali Allah?” Dia menjawab, “Ya.” Ibrahim lalu, berkata, “Kalau begitu janganlah engkau menginginkan harta, kekayaan duniawi ataupun ukhrawi. Kosongkanlah dirimu untuk Allah swt semata. Palingkanlah mukamu kepada-Nya agar Dia berpaling kepadamu dan menjadikanmu wali-Nya.”

Yahya bin Mu’adz menggambarkan para wali sebagai berikut, “Mereka itu adalah hamba-hamba yang berpakaian kesukacitaan jiwa setelah mengalami penderitaan, dan yang memeluk ruhani setelah mujahadah ketika mereka mencapai tahapan kewalian.”
Abu Yazid al-Bisthamy mengatakan, “Wali-wali Allah adalah pengantin-pengantin-Nya, dan tak seorang pun yang boleh melihat para pengantin selain mereka yang termasuk dalam keluarganya. Mereka ditabiri dalam ruang khusus di hadirat-Nya oleh kesukacitaan jiwa (uns). Tak seorang pun yang melihat mereka, baik di dunia ini maupun di akhirat.”

Saya mendengar Abu Bakr ash-Shaidalany, salah seorang yang saleh, menuturkan, “Suatu ketika aku berulangkali memperbaiki batu nisan makam Abu Bakr at-Thamastany di pekuburan
al-Hirah dan mengukir namanya pada nisan itu, namun tiba-tiba digali dan dicuri orang, meskipun makam-makam yang lain tidak. Karena bingung menghadapi hal ini, aku bertanya kepada Abu Ali ad-Daqqaq, yang kemudian menjelaskan kepadaku, `Syeikh itu lebih suka tidak dikenal orang di dunia ini, tapi engkau ingin memberinya batu nisan yang akan memperbaiki kenangan kepadanya. Allah swt tidak ingin kecuali tetap menyembunyikannya sebagaimana keadaan dirinya yang lebih disukainya waktu hidupnya’.”

Sa’id bin Salam al-Nlaghriby mengatakan, “Kadang-kadang seorang wali termasyhur ke mana-mana, namun dia tidak akan tergoda oleh kemasyhurannya itu.”
An-Nashr Abadzy berkata, “Para wali tidak mengajukan tuntutan; mereka justru merasa hina dan tersembunyi.” Dia juga mengatakan, “Pangkal perjalanan para wali adalah langkah pertama para Nabi.”

Sahl bin Abdullah mengatakan, “Wali adalah dia yang selalu melakukan perbuatannya selaras dengan Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz menyatakan, “Seorang wali berbuat sesuatu tidak demi riya’, tidak pula munafik. Betapa sedikitnya sahabat-sahabat seseorang yang berwatak seperti itu!”

Abu Ali al Juzajany berkata, “Seorang wali adalah yang fana’ keadaannya namun tetap dalam musyahadah akan Allah swt. Allah mengambil alih urusan-urusannya hingga, dengan pengarahan itu, cahaya kewalian melimpah.
Dia tidak tahu apa-apa tentang dirinya sendiri, tak ada tempat berpijak selain Allah swt.”

Abu Yazid mengabarkan, “Jatah para wali yang sudah ditentukan berasal dari empat Asma Allah. Masing-masing kelompok wali ber­buat sesuai dengan salah satu Asma tersebut: Al-Awwal (Yang Terdahulu), Al-Akhir (Yang Akhir), Adz-Dzahir (Yang Lahir) dan Al-Bathin (Yang Batin). Manakala seorangwali fana’ dari nama-nama tersebut setelah memakainya, maka dialah manusia kamil yang sempurna. Wali yang jatahnya berasal dari Asma Allah Adz-Dzahir akan menyaksikan kekuasaan-Nya; Wali yang mendapatkan bagian dari Al-Bathin, akan menyaksikan hal-hal yang mengalir dalam rahasia batin dari cahaya-Nya; Wali yang bagiannya dari Al-Awwal disibukkan dengan masa lampau; Wali yang namanya berasal dari Al-Akhir akan berhubungan dengan masa yang akan datang. Masing­masing diberi keterbukaan menurut kemampuannya, kecuali wali yang telah dipilih oleh Allah swt. dan dipelihara untuk Diri-Nya.”

Kata-kata AbuYazid ini menunjukkan kelompok terpilih di antara hamba-hamba Allah derajatnya lebih tinggi dari bagian-bagian ini, tidak hanya sibuk dengan masa depan, ataupun masa lalu dalam benaknya, juga bukan karena jalan ruhani yang telah dilewatinya.
Demikian keadaan ruhani mereka yang telah mencapai hakikat; mereka terhapus dari sifat-sifat makhluk.
Seperti difirmankan Allah swt
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur.” (Q.s. Al-Kahfi:18). Dari : Sufinews.com

Kewalian1


Oleh: Syeik Abul Qosim al-Qusyairy
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekha­watiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Q.s. Yunus: 62).
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda:
Allah Swt berfirman, ‘Barangsiapa yang menyakiti seorang wali, berarti telah memaklumkan perang terhadap-Ku
melawan dia. Seorang hamba bisa mendekatkan diri kepada Ku dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dia senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku mencintainya. Tak pernah Aku merasa ragu-ragu melakukan sesuatu seperti keraguanku mencabut nyawa seorang hamba-Ku yang beriman, karena dia tidak menyukai kematian dan Aku tak suka menyakiti hatinya; tetapi maut itu adalah sesuatu yang tak bisa dihindari.“(Hr. Ahmad, Hakim dan Tirmidzi).

Kata wali mempunyai dua makna. Yang pertama berasal dari bentuk fa’iil (subyek) dalam pengertian maf’ul (obyek). Artinya orang yang diambil alih kekuasaannya oleh Allah swt.
Sebagaimana telah difirmankan oleh-Nya, “... dan Dia mengambil alih urusan (yatawalia) orang-orang saleh.” (Q.s. AI-A’raf 196). Sejenakpun si wali tidak mengurusi dirinya.

Arti yang kedua berasal dari bentuk fa’iil dalam pengertian penekanan (mubalaghah) dari faa’il. Yaitu orang yang secara aktif melaksanakan ibadat kepada Allah dan mematuhi-Nya secara terus menerus tanpa diselingi kemaksiatan.

Kedua arti ini mesti ada pada seorangwali untuk bisa dianggap sebagai wali yang sebenarnya, dengan menegakkan hak-hakAllah swt. atas dirinya sepenuhnya, disamping perlindungan Allah swt. padanya, di saat senang maupun susah.

Salah satu persyaratan seorang wali adalah bahwa Allah
melin­dunginya dari mengulangi dosa-dosa (mahfudz), seperti halnya salah satu persyaratan seorang Nabi adalah bahwa dia terjaga dari segala dosa (ma’shum). Siapa pun yang berbuat dengan cara yang menyimpang dari syariat Allah swt. berarti telah tertipu.

Suatu ketika Abu Yazid al-Bisthamy berangkat untuk mencari seseorang yang oleh orang-orang lain digambarkan sebagai seorang wali. Ketika sampai ke masjid orang tersebut, dia lalu duduk dan menunggu orang tersebut keluar. Orang itu pun keluar setelah meludah di dalam masjid. Abu Yazid pun pergi begitu saja tanpa memberi salam kepadanya, dan berkata, `Inilah orang yang tak bisa dipercaya untuk melaksanakan adab yang benar seperti dinyatakan dalam hukum Allah. Bagaimana mungkin dia bisa diandalkan untuk menjaga rahasia-rahasia Allah swt ?”

Terdapat ketidaksepakatan di kalangan kaum Sufi mengenai apakah diperbolehkan bagi seseorang untuk menyadari bahwa dirinya adalah seorang wali atau bukan. Sebagian mereka mengatakan,
“Hal itu tidak diperbolehkan. Sang wali harus selalu introspeksi dirinya dengan pandangan penuh hina. Jika suatu karomah terjadi melalui dirinya, dia merasa takut jika karomah tersebut merupakan godaan dan dia senantiasa merasa takut jika keadaan akhirnya berlawanan dengan keadaannya sekarang.” Para Sufi yang berpendapat seperti ini menjadikan syarat kewalian, harus selaras dengan keteguhannya hingga akhir hayat.

Akan tetapi, sebagian Sufi mengatakan, “Boleh saja seorangwali mengetahui bahwa dirinya adalah wali, dan kesetiaan pada kewalian sampai akhir hayat sang wali bukanlah persyaratan untuk mencapai derajat kewalian di saat ini.”

Jika kesetiaan seperti itu merupakan prasyarat untuk mencapai derajat kewalian, bahwa seorangwali akan dianugerahi suatu karamah tertentu yang dengannya Allah memberitahukan kepadanya mengenai kepastian keadaan akhirnya. Sebab, kepercayaan terhadap karomah seorang wali adalah wajib. Yakni, walaupun ia dipisahkan rasa takut akan keadaan akhirnya, namun sikapnya mengagungkan dan me-Mahabesarkan bisa meningkatkan kondisi batin secara lebih efektif daripada banyaknya rasa takut itu sendiri.

Ketika Nabi saw bersabda, “Sepuluh orang sahabatku akan berada di surga,” maka sepuluh orang itu sangat percaya kepada sabda Rasulullah saw dan mengetahui kepastian nasib mereka. Hal ini tidaklah membuat cacat keadaan mereka. Sebab di antara syarat sahnya memahami`secara benar mengenai kenabian menuntut pemahaman mengenai definisi mukjizat, disamping itu juga pengetahuan tentang hakikat karomah. Karena itu tidaklah mungkin bagi seorang wali, manakala dia menyaksikan suatu karomah terjadi di depan matanya, tidak mungkin ia tidak membedakan antara karomah dan lainnya. Jika menyaksikan hal seperti itu, sang wali mengetahui bahwa dia berada di jalan yang benar.

Sang wali juga diperkenankan mengetahui realita yang akan datang dengan tetap konsisten pada kekinian perilakunya. Dianugerahi pengetahuan ini sendiri adalah suatu karomah. Ajaran tentang - karomah wali adalah benar, sebagaimana dipersaksikan oleh banyak riwayat Sufi. Di antara syeikh yang menyepakati hal ini dan pernah saya jumpai adalah Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq. Dari : Sufinews.Com

Selasa, 03 Februari 2009

Ma'rifatullah Puncak Aqidah Islam

1. KARAKTERISTIK AQIDAH ISLAM

Aqidah Islam adalah Aqidah Rabbaniy (berasal dari Allah ) yang bersih dari pengaruh penyimpangan dan subyektifitas manusia. Aqidah Islam memiliki karakteristik berikut ini :

1. Al Wudhuh wa al Basathah ( jelas dan ringan) tidak ada kerancuan di dalamnya seperti yang terjadi pada konsep Trinitas dsb.

2. Sejalan dengan fitrah manusia, tidak akan pernah bertentangan antara aqidah salimah (lurus) dan fitrah manusia. Firman Allah : “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah..” QS. 30:30

3. Prinsip-prinsip aqidah yang baku, tidak ada penambahan dan perubahan dari siapapun. Firman Allah :”Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan lain selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ?“ QS. 42:21

4. Dibangun di atas bukti dan dalil, tidak cukup hanya dengan doktrin dan pemaksaan seperti yang ada pada konsep-konsep aqidah lainnya. Aqidah Islam selalu menegakkan : “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar” QS 2:111

5. Al Wasthiyyah (moderat) tidak berlebihan dalam menetapkan keesaan maupun sifat Allah seperti yang terjadi pada pemikiran lain yang mengakibatkan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Aqidah Islam menolak fanatisme buta seperti yang terjadi dalam slogan jahiliyah “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan mengikuti jejak mereka” QS. 43:22

2. PENGERTIAN MA’RIFATULLAH

Ma’rifatullah (mengenal Allah) bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana mungkin manusia yang terbatas ini mengenali sesuatu yang tidak terbatas?. Segelas susu yang dibikin seseorang tidak akan pernah mengetahui seperti apakah orang yang telah membuatnya menjadi segelas susu.

Menurut Ibn Al Qayyim : Ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifah (orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”.

Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.

3. CIRI-CIRI DALAM MA’RIFATULLAH

Seseorang dianggap ma’rifatullah (mengenal Allah) jika ia telah mengenali

1. asma’ (nama) Allah

2. sifat Allah dan

3. af’al (perbuatan) Allah, yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam kehidupan alam ini.

Kemudian dengan bekal pengetahuan itu, ia menunjukkan :

1. sikap shidq (benar) dalam ber -mu’amalah (bekerja) dengan Allah,

2. ikhlas dalam niatan dan tujuan hidup yakni hanya karena Allah,

3. pembersihan diri dari akhlak-akhlak tercela dan kotoran-kotoran jiwa yang membuatnya bertentangan dengan kehendak Allah SWT

4. sabar/menerima pemberlakuan hukum/aturan Allah atas dirinya

5. berda’wah/ mengajak orang lain mengikuti kebenaran agamanya

6. membersihkan da’wahnya itu dari pengaruh perasaan, logika dan subyektifitas siapapun. Ia hanya menyerukan ajaran agama seperti yang pernah diajarkan Rasulullah SAW.

Figur teladan dalam ma’rifatullah ini adalah Rasulullah SAW. Dialah orang yang paling utama dalam mengenali Allah SWT. Sabda Nabi : “Sayalah orang yang paling mengenal Allah dan yang paling takut kepada-Nya”. HR Al Bukahriy dan Muslim. Hadits ini Nabi ucapkan sebagai jawaban dari pernyataan tiga orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan keinginan dan perasaannya sendiri.

Tingkatan berikutnya, setelah Nabi adalah ulama amilun ( ulama yang mengamalkan ilmunya). Firman Allah : “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” QS. 35:28

Orang yang mengenali Allah dengan benar adalah orang yang mampu mewarnai dirinya dengan segala macam bentuk ibadah. Kita akan mendapatinya sebagai orang yang rajin shalat, pada saat lain kita dapati ia senantiasa berdzikir, tilawah, pengajar, mujahid, pelayan masyarkat, dermawan, dst. Tidak ada ruang dan waktu ibadah kepada Allah, kecuali dia ada di sana. Dan tidak ada ruang dan waktu larangan Allah kecuali ia menjauhinya.

Ada sebagian ulama yang mengatakan : “Duduk di sisi orang yang mengenali Allah akan mengajak kita kepada enam hal dan berpaling dari enam hal, yaitu : dari ragu menjadi yakin, dari riya menjadi ikhlash, dari ghaflah (lalai) menjadi ingat, dari cinta dunia menjadi cinta akhirat, dari sombong menjadi tawadhu’ (randah hati), dari buruk hati menjadi nasehat”

4. URGENSI MA’RIFATULLAH

a. Ma’rifatullah adalah puncak kesadaran yang akan menentukan perjalanan hidup manusia selanjutnya. Karena ma’rifatullah akan menjelaskan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya. Ketiadaan ma’rifatullah membuat banyak orang hidup tanpa tujuan yang jelas, bahkan menjalani hidupnya sebagaimana makhluk hidup lain (binatang ternak). QS.47:12

b. Ma’rifatullah adalah asas (landasan) perjalanan ruhiyyah (spiritual) manusia secara keseluruhan. Seorang yang mengenali Allah akan merasakan kehidupan yang lapang. Ia hidup dalam rentangan panjang antara bersyukur dan bersabar.

Sabda Nabi : Amat mengherankan urusan seorang mukmin itu, dan tidak terdapat pada siapapun selain mukmin, jika ditimpa musibah ia bersabar, dan jika diberi karunia ia bersyukur” (HR.Muslim)

Orang yang mengenali Allah akan selalu berusaha dan bekerja untuk mendapatkan ridha Allah, tidak untuk memuaskan nafsu dan keinginan syahwatnya.

c. Dari Ma’rifatullah inilah manusia terdorong untuk mengenali para nabi dan rasul, untuk mempelajari cara terbaik mendekatkan diri kepada Allah. Karena para Nabi dan Rasul-lah orang-orang yang diakui sangat mengenal dan dekat dengan Allah.

d. Dari Ma’rifatullah ini manusia akan mengenali kehidupan di luar alam materi, seperti Malaikat, jin dan ruh.

e. Dari Ma’rifatullah inilah manusia mengetahui perjalanan hidupnya, dan bahkan akhir dari kehidupan ini menuju kepada kehidupan Barzahiyyah (alam kubur) dan kehidupan akherat.

5. SARANA MA’RIFATULLAH

Sarana yang mengantarkan seseorang pada ma’rifatullah adalah :

a. Akal sehat

Akal sehat yang merenungkan ciptaan Allah. Banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan pengaruh perenungan makhluk (ciptaan) terhadap pengenalan al Khaliq (pencipta) seperti firman Allah : Katakanlah “ Perhatikanlah apa yang ada di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman. QS 10:101, atau QS 3: 190-191

Sabda Nabi : “Berfikirlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang Allah, karena kamu tidak akan mampu” HR. Abu Nu’aim

b. Para Rasul

Para Rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-jelasnya tentang ma’rifatullah dan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka inilah yang diakui sebagai orang yang paling mengenali Allah. Firman Allah :

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan ) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan..” QS. 57:25

c. Asma dan Sifat Allah

Mengenali asma (nama) dan sifat Allah disertai dengan perenungan makna dan pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah. Cara inilah yang telah Allah gunakan untuk memperkenalkan diri kepada makhluk-Nya. Dengan asma dan sifat ini terbuka jendela bagi manusia untuk mengenali Allah lebih dekat lagi. Asma dan sifat Allah akan menggerakkan dan membuka hati manusia untuk menyaksikan dengan seksama pancaran cahaya Allah. Firman Allah :

“Katakanlah : Serulah Allah atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asma’ al husna (nama-nama yang terbaik) QS. 17:110

Asma’ al husna inilah yang Allah perintahkan pada kita untuk menggunakannya dalam berdoa. Firman Allah :

“ Hanya milik Allah asma al husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma al husna itu…” QS. 7:180

Inilah sarana efektif yang Allah ajarkan kepada umat manusia untuk mengenali Allah SWT (ma’rifatullah). Dan ma’rifatullah ini tidak akan realistis sebelum seseorang mampu menegakkan tiga tingkatan tauhid, yaitu : tauhid rububiyyah, tauhid asma dan sifat. Kedua tauhid ini sering disebut dengan tauhid al ma’rifah wa al itsbat ( mengenal dan menetapkan) kemudian tauhid yang ketiga yaitu tauhid uluhiyyah yang merupakan tauhid thalab (perintah) yang harus dilakukan.

oleh abu mujahid