Wahai Saudaraku ....Kemana lagi engkau akan kembali selain kepada Alloh Swt

Wahai para pencari ketenangan sesungguhnya ketenangan sejati ketika engkau bisa mengenal Alloh...Wahai para pencari ke ridhoan sesungguhnya hanya dari kerihoan Alloh saja yang akan menyelamatkan...Wahai para pencari kesenangan sesungguhnya kesenangan sejati hanya dari Alloh saja kelak ...

Rabu, 04 Februari 2009

Kewalian2


Ibrahim bin Adham pernah bertanya kepada seseorang, “Apakah engkau ingin menjadi wali Allah?” Dia menjawab, “Ya.” Ibrahim lalu, berkata, “Kalau begitu janganlah engkau menginginkan harta, kekayaan duniawi ataupun ukhrawi. Kosongkanlah dirimu untuk Allah swt semata. Palingkanlah mukamu kepada-Nya agar Dia berpaling kepadamu dan menjadikanmu wali-Nya.”

Yahya bin Mu’adz menggambarkan para wali sebagai berikut, “Mereka itu adalah hamba-hamba yang berpakaian kesukacitaan jiwa setelah mengalami penderitaan, dan yang memeluk ruhani setelah mujahadah ketika mereka mencapai tahapan kewalian.”
Abu Yazid al-Bisthamy mengatakan, “Wali-wali Allah adalah pengantin-pengantin-Nya, dan tak seorang pun yang boleh melihat para pengantin selain mereka yang termasuk dalam keluarganya. Mereka ditabiri dalam ruang khusus di hadirat-Nya oleh kesukacitaan jiwa (uns). Tak seorang pun yang melihat mereka, baik di dunia ini maupun di akhirat.”

Saya mendengar Abu Bakr ash-Shaidalany, salah seorang yang saleh, menuturkan, “Suatu ketika aku berulangkali memperbaiki batu nisan makam Abu Bakr at-Thamastany di pekuburan
al-Hirah dan mengukir namanya pada nisan itu, namun tiba-tiba digali dan dicuri orang, meskipun makam-makam yang lain tidak. Karena bingung menghadapi hal ini, aku bertanya kepada Abu Ali ad-Daqqaq, yang kemudian menjelaskan kepadaku, `Syeikh itu lebih suka tidak dikenal orang di dunia ini, tapi engkau ingin memberinya batu nisan yang akan memperbaiki kenangan kepadanya. Allah swt tidak ingin kecuali tetap menyembunyikannya sebagaimana keadaan dirinya yang lebih disukainya waktu hidupnya’.”

Sa’id bin Salam al-Nlaghriby mengatakan, “Kadang-kadang seorang wali termasyhur ke mana-mana, namun dia tidak akan tergoda oleh kemasyhurannya itu.”
An-Nashr Abadzy berkata, “Para wali tidak mengajukan tuntutan; mereka justru merasa hina dan tersembunyi.” Dia juga mengatakan, “Pangkal perjalanan para wali adalah langkah pertama para Nabi.”

Sahl bin Abdullah mengatakan, “Wali adalah dia yang selalu melakukan perbuatannya selaras dengan Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz menyatakan, “Seorang wali berbuat sesuatu tidak demi riya’, tidak pula munafik. Betapa sedikitnya sahabat-sahabat seseorang yang berwatak seperti itu!”

Abu Ali al Juzajany berkata, “Seorang wali adalah yang fana’ keadaannya namun tetap dalam musyahadah akan Allah swt. Allah mengambil alih urusan-urusannya hingga, dengan pengarahan itu, cahaya kewalian melimpah.
Dia tidak tahu apa-apa tentang dirinya sendiri, tak ada tempat berpijak selain Allah swt.”

Abu Yazid mengabarkan, “Jatah para wali yang sudah ditentukan berasal dari empat Asma Allah. Masing-masing kelompok wali ber­buat sesuai dengan salah satu Asma tersebut: Al-Awwal (Yang Terdahulu), Al-Akhir (Yang Akhir), Adz-Dzahir (Yang Lahir) dan Al-Bathin (Yang Batin). Manakala seorangwali fana’ dari nama-nama tersebut setelah memakainya, maka dialah manusia kamil yang sempurna. Wali yang jatahnya berasal dari Asma Allah Adz-Dzahir akan menyaksikan kekuasaan-Nya; Wali yang mendapatkan bagian dari Al-Bathin, akan menyaksikan hal-hal yang mengalir dalam rahasia batin dari cahaya-Nya; Wali yang bagiannya dari Al-Awwal disibukkan dengan masa lampau; Wali yang namanya berasal dari Al-Akhir akan berhubungan dengan masa yang akan datang. Masing­masing diberi keterbukaan menurut kemampuannya, kecuali wali yang telah dipilih oleh Allah swt. dan dipelihara untuk Diri-Nya.”

Kata-kata AbuYazid ini menunjukkan kelompok terpilih di antara hamba-hamba Allah derajatnya lebih tinggi dari bagian-bagian ini, tidak hanya sibuk dengan masa depan, ataupun masa lalu dalam benaknya, juga bukan karena jalan ruhani yang telah dilewatinya.
Demikian keadaan ruhani mereka yang telah mencapai hakikat; mereka terhapus dari sifat-sifat makhluk.
Seperti difirmankan Allah swt
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur.” (Q.s. Al-Kahfi:18). Dari : Sufinews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar